TERAS BERITA.ID, Jakarta – Masyarakat Pemantau Tindak Kekerasan Anak-nak Indonesia mempermasalahkan tuntutan Jaksa atas kasus dugaan penganiayaan anak Nindy Ayunda dengan terdakwa Lia Karyati di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Koordinator Masyarakat Pemantau Tindak Kekerasan Anak-nak Indonesia Andi Merrie Muhamadyah SH. MH mengatakan, tuntutan Jaksa dalam sidang kasus itu terlampau ringan, yakni hanya 7 bulan.
“Masyarakat Pemantau Tindak Kekerasan Anak Anak Indonesia melihat ada suatu dugaan keganjilan terhadap proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Terkait dalam perkara Pembantu/Asisten Rumah Tangga (ART). kita sangat miris sekali mendengar ART (Asisten/ Pembantu Rumah) memiliki temparamen tinggi kepada anak, bukan memberikan suartu pelayanan terbaik dalam mengurus anak. Tidak bisa dengan cara kekerasaan kepada anak atau dalam bentuk apapun, ada dugaan ART yang mengasuh anak Nindy Ayunda terganggu kejiwaannya sampai emosinya tinggi?” ujar Andi Merrie Muhamadyah dalam keterangan pers, Jumat (8/4/22).
Dia lalu membahas tentang Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Terkait itu kata dia, menurut yurisprudensi, yang dimaksud dengan kata penganiayaan yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka.
“Contoh rasa sakit tersebut misalnya diakibatkan mencubit, mendepak, memukul, menempeleng, dan sebagainya. Sanksi bagi orang yang melanggar pasal di atas, pelaku kekerasan/peganiayaan ditentukan dalam Pasal 80 UU 35/2014,” jelasnya dikutip dari wartaberita.com.
Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, lanjutnya, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta.
Sementara Pasal 1 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa Perlindungan Anak adalah: Segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi; Pasal 351 ayat (4) KUHP hanya merumuskan bahwa penganiayaan disamakan dengan sengaja merusak kesehatan atau merugikan kesehatan orang lain.
“Referensi hukum pidana yang lain memberi pengertian atas penganiayaan sebagai perbuatan yang menimbulkan rasa sakit atau rasa tidak enak,” jelasnya.
Untuk itu menurut dia tuntutan Jaksa tidak sesuai dengan UU No.23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak.
“Di mana tuntutan Jaksa yang menuntut ART tersebut tidak sesuai dalam UU No.23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak di dalam Pasal 80 ayat 5,” ujarnya.
Oleh karena itu, Masyarakat Pemantau Tindak Kekerasan Anak Anak Indonesia meminta Komisi Yudisial (KY) segera turun memantau proses perjalan perkara Pidana ART Nindy Ayunda di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
“Meminta Ketua Majelis Hakim dan beberapa anggota majelis hakim, untuk mengikuti UU No.23 Tahun 2022. yang di mana sesuai sangsi hukum yang sudah berlaku di negara Indonesia,” katanya.
Kata dia, Masyarakat Pemantau Tindak Kekerasan Anak Anak Indonesia menyatakan bahwa proses hukum itu harus seperti “Ratu keadilan yang memegang Timbangan dan Pedang”.
“Di mana keadilan itu harus dapat seadil-adilnya dalam proses keadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,” katanya.
“Dalam hal ini juga kami meminta agar Jaksa Agung turun tangan untuk melakukan revisi tuntutan terhadap Lia Karyati yang terlalu ringan dan tidak memberikan rasa keadilan kepada anak Nindy ayunda yang jadi korban kekerasan,” pungkasnya.