TERASBERITA.ID – Seorang guru bercerita kepada saya mengenai fenomena anak sekolah yang tidak bisa lagi terampil menulis secara manual. Hal ini terjadi karena peralatan belajar saat ini yang sudah diganti dari buku cetak dan buku tulis ke tablet.
Salah satu buah dari sistem pendidikan (konvensional) kita adalah dihasilkannya proses pembelajaran untuk mengenal tulis menulis. Tehnik menulis adalah budaya paling purba dalam memelihara kesinambungan ilmu pengetahuan.
Menurut beberapa pandangan produk pertama tulisan ditemukan ada dua tempat yang berbeda: Mesopotamia (khususnya Sumer kuno) sekitar 3200 SM dan Mesoamerika sekitar 600 SM.
Di masa itu, tulisan hadir dengan variasinya menyesuaikan kebutuhan dan skilnya masing-masing. Bangsa Sumeria menciptakan aksara paku, sedangkan bangsa Mesir menciptakan aksara hieroglif.
Ada lagi jenis logograf Tionghoa dan Naskah Olmec pada Mesoamerika.
Kata benda dari kegiatan tulis-menulis adalah “tulisan”.
Sedangkan menulis merupakan aktivitas yang didalamnya melibatkan berbagai komponen mulai dari ide, keahlian membaca data, serta kemampuan menganalisis, dan selanjutnya menyajikan dalam bentuk narasi.
Tulisan sebenarnya merupakan kumpulan simbol yang disepakati maknanya oleh satu komunitas tertentu. Maka wajar jika visualisasi bentuk tulisan bisa berbeda-beda, seperti sudah dijelaskan di atas.
Tulisan yang kita kenal sekarang disebut huruf latin.
Dibuat oleh bangsa Romawi Kuno sekitar 750 SM. Karena tulisan ini dipakai atau disepakati oleh lebih banyak entitas sedunia, maka setiap simbol-simbol yang menunjukkan bunyi tertentu pada simbol tersebut kemudian memiliki makna representasi yang sama, setidaknya pada sebagian besar bangsa.
Meski kemudian ketika simbol-simbol berbentuk huruf itu ketika dirangkai dan menjadi satu bunyi tertentu yang disebut sebagai kata. Jika kata itu dirangkai dengan kata yang lain, kumpulan kata hasil rangkaian akan menghasilkan makna yang berbeda. Inilah yang kemudian disebut sebagai bahasa dalam tulisan.
Artikel ini bukan akan membicarakan isi atau pesan dari tulisan. Tetapi tulisan dalam arti keterampilan menulis yang sejak zaman kuno merupakan keahlian yang diajarkan di sekolah.
Mengapa kita begitu penting mendiskusikan fenomena ini?
Ada beberapa fakta terkini yang terjadi di institusi sekolah, terutama di sekolah kelas menengah perkotaan, yang berpotensi menggerus budaya teknik menulis tersebut.
Kita memasuki era teknologi komunikasi-informasi, yang di dalamnya terdapat fenomena penggunaan gawai pada berbagai bidang kehidupan, termasuk sekolah.
Seperti kita ketahui, gawai untuk sekolah sudah mulai dijadikan kebutuhan. Kehadiran gawai bukan hanya dianggap bisa memberikan keuntungan seperti tersimpannya ragam data untuk keperluan bersekolah dalam jumlah yang besar, namun tetap enteng dan ringan dibawa-bawa.
Ini membawa konsekwensi positif pada siswa, di mana mereka tidak perlu berat-berat menenteng barang bawaan untuk belajar.
Sebelumnya, siswa tingkat dasar saja (MI dan SD) banyak siswa membawa berbagai buku (cetak dan tulis) sebagai bahan ajar dengan berat yang cukup besar. Antara dua sampai tiga kilogram per anak. Tentu saja, di masa mendatang beban ini akan cukup menggangu pertumbuhan fisik siswa tersebut.
Berikutnya adalah kita sedang memasuki era yang disebut sebagai paperless atau hidup tanpa kertas. Tentu saja era ini telah menghasilkan satu visi baru bahwa media pendukung pembelajaran tidak lagi harus berbasis kertas fisik, tetapi kertas digital, yang telah dimasukkan kedalam alat baca dan alat belajar dalam bentuk tablet atau laptop.
Proses pemanfaatan tablet atau laptop untuk pembelajaran ini jelas telah mengubah banyak hal. Salah satunya tradisi dan keterampilan menulis. Di mana keterampilan menulis yang dulu lazim dengan cara menggunakan pulpen (ballpoint) atau pena (pen) sekarang diubah menjadi keterampilan memencet tuts keyboard untuk menghasilkan huruf-huruf.
Dalam konteks menulis saat ini, aktivitas yang paling penting adalah memaknai pikiran-pikiran yang disampaikan dalam tulisan itu, sementara huruf-huruf tulisan itu sendiri sudah bisa ditransformasi dalam bentuk memencet tuts keyboard.
Lalu apakah dengan sendirinya budaya menulis itu masih diperlukan atau tidak? Tentu saja jawabannya sangat kondisional.
Misalnya, jika dikatakan bahwa budaya menulis masih diperlukan, kira-kira berapa banyakkah ruang yang masih tersedia untuk skill menulis di era sekarang.
Apalagi di era mendatang, karena sekarang menulis, menggambar, bercerita, dan banyak hal lain, sudah ada program atau aplikasi yang mempermudah hal tersebut. Bahkan memencet tuts keyboard pun mungkin sudah semakin minimal.
Sebab orang sudah bisa membuat narasi tulisan hanya dengan voice atau kata-kata yang didiktekan ke sebuah aplikasi yang langsung diubah ke dalam bentuk teks.
Begitupun ketika memecahkan kode, yang lazimnya ditunjukkan visualisasinya oleh para saintis, seperti teknik menurunkan suatu rumus dalam papan tulis besar seperti yang dilakukan oleh Einstein ketika menghasilkan teorinya. Kegiatan ini pun sudah bisa dibantu aplikasi artificial intelligence (AI).
Dengan demikian, maka bisa jadi kedepan kita tidak lagi, atau sudah akan mulai menemukan satu generasi yang tidak memiliki kemampuan yang baik dalam memainkan bolpoin dan pensil untuk membuat bentuk-bentuk huruf, dan kemudian merangkainya untuk menjadi kata dan kalimat karena selain hal itu sudah tidak efektif.
Jikapun mengayungkan pensil, kuas, dan hal-hal lain yang seperti itu, masih ada. Mungkin hanya dilakukan oleh sebagian kecil saja, yang memang profesinya berkaitan dengan hal itu, seperti melukis dan membuat kaligrafi huruf.
Sebab, inti sebuah tulisan adalah adanya menyampaikan pesan. Jika pesan itu sudah bisa tetap ada (teksnya) dan mampu disampaikan kepada penerima pesan itu, maka memang ke depan, keterampilan membuat simbol-simbol huruf itu melalui tangan sendiri, menjadi tidak perlu lagi.
Penulis: Dr. Tantan Hermansah M.Si
Editor : Dede Rosyadi