TERASBERITA.ID – Dalam adagium politik, tidak ada musuh abadi, yang ada hanya kepentingan pribadi. Sebab itu demokrasi dibangun atas dasar kebebasan seseorang untuk memilih dan dipilih.
Bebas bukan berarti tanpa aturan. Ada mekanisme yang mengikat, yakni berupa undang-undang reguliasi kebebasan berdemokrasi.
Ada aturan main. Ada kode etik dalam menjalankan sebuah hajat demokrasi. Di antaranya, persyaratan calon pemimpin yang sudah disepakati dan disahkan secara mufakat. Baik dari administrasi, hingga persiapan visi misi untuk mengkampanyekan gagasan ke masyarakat.
‘Perang’ gagasan diajurkan. Perang persaudaraan dilarang, sebab itu akan merusak tatanan berdemokrasi.
Ada peraturan berkampanye yang mengikat. Semisal, batas waktu kampanye, perangkat kampanye, baik melalui sistem tradisional, maupun sistem modern.
Kampanye secara elektorik, media massa maupun media sosial diperbolehkan, asal ada kode etik. Semua itu tercatat pada undang-undang ITE.
Begitu pula kampanye secara personal. Door to door. Baik dari calon pemimpin atau tim sukses ‘turun gunung’ ke masyarakat.
Pelanggaran dalam berdemokrasi kerap ditemui berupa black campaing (kampanye hitam) secara personal, many politik, bahkan unsur SARA.
Sebab itu, perlunya mengetahui batasan-batasan berpolitik, mana yang ‘menabrak’ sistem demokrasi dan mana yang sudah sesuai jalur. Sebab undang-undang dibuat untuk kemaslahatan bersama, sekaligus memberi sanksi bagi yang melanggar. Hal ini juga mengajarkan masyarakat untuk cerdas dan sadar hukum.
jika ditemui pelanggaran diatas, maka ada sanksi yang mengatur. Baik berupa teguran, bahkan sanksi pidana.
Sebab itu gagal dan suksesnya dalam berdemokrasi, dilihat seberapa kesiapan calon pemimpin dan masyarakat tersebut.
Masyarakat yang siap berdemokrasi, tentu mereka akan mengkampanyekan visi dan misi sang calon pemimpin dengan fokus pada paparan maksud dan tujuan sesuai apa yang mereka canangkan.
Mengambil simpati masyarakat di kantong-kantong suara pemilihan dengan sosialisasi gagasan yang logis itu menjadi utama, daripada fokus pada kampanye debat kusir alias saling menjatuhkan antar lawan. Sehingga, masyarakat bingung.
Saling menyerang antar sesama. Buyar demokrasi, hancur tatanan persaudaraan. Hilangnya dasar pancasila ke tiga, persatuan Indonesia hanya menjadi semboyan.
Sebab itu, kecerdasan pola pikir. Kedewasaan, santun berkomunikasi dalam meraih simpati publik, siap menang dan siap kalah, adalah bagian dari demokrasi.
Berubahnya suatu masyarakat, majunya suatu wilayah dilihat dari cara pola pikir masyarakat. Sudut pandang secara luas, berfikir jernih, dan melihat persoalan bukan hanya dari satu sisi, tapi lebih kepada bagaimana problem solving, memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi.
Demokrasi pada akar rumput mejadi barometer, sejauh mana masyarakat siap pada perubahan. Siap menghadapi tantangan zaman. Mau menerima masukan, ide-ide dari luar. Tidak terkungkung dalam pemikiran sempit.
Tolak ukur kemajuan bangsa negara terlihat bagaimana demokrasi pada akar rumput ( demokrasi level kampung). Maju dan sejahtera suatu masyarakat itu ada ditangan masyarakat itu sendiri. Mau berubah atau tetap nyaman pada kondisi stagnan.
Tuhan tidak merubah keadaan masyarakat, Mereka sendiri yang merubah keadaan yang ada pada diri mereka.
Hati boleh panas, tapi isi kepala tetap dingin. Jangan lupa nanti seduh kopi, biar pada akur lagi.
Penulis: Dede Rosyadi, M.Sos (Dosen Analis Media, Jaringan Jurnalis Siber Indonesia)