TERAS BERITA.ID, JAKARTA – Lebaran tahun 2022, memang beda dengan dua tahun sebelumnya. Kalau kemarin-kemarin sepi lantaran pandemi COVID-19. Kali ini semua orang terlibat eporia “normal”. Karena sudah bisa shalat Idul Fitri tanpa jarak, bisa kunjungan dari rumah ke rumah dan bisa pulang kampung tanpa batasan.
Acara tambahan, setelah Idul Fitri ada yang walimahan, Halal Bihalal, reunian dan sebagainya. Memasuki minggu ketiga, bulan Syawal ada tiga undangan Habil sampai ke rumah. Ketiganya akan dilakukan pada hari dan jam yang sama.
Padahal, lokasinya jauh banget satu sama lain. Satu dari ikatan alumni almamater Malaysia di Bintaro, satu dari alumni pondok di Wates (Babelan Utara), dan satu dari alumni angkatan pertama MTs yayasan yang saya kelola berdiri dari tahun 1986 di Cikarang.
Saya memilih yang ketiga untuk hadir. Setidaknya karena dua alasan. Pertama, karena undangannya datang duluan. Selain itu, dua yang pertama sudah sering saya hadiri, sehingga kayaknya sekali-sekali perlu ada penyegaran.
Tapi entah kenapa reuni ini berasa jadi unik (aneh). Itu sudah terlihat sejak undangan diantar langsung oleh panitia.
Di daftar acara, nama saya tertera sebagai ketua Yayasan yang bakal memberikan sambutan di urutan ketiga. Sedangkan, sambutan alumni ditaruh paling akhir sebelum penyerahan cinderamata. Tapi perasaan enggak enak itu saya tepis dengan berbaik sangka. Mungkin, karena saya tuan rumah, atau panitianya kurang pengalaman. Biarin aja dah.
Sejak masuk ruangan reuni, saya sudah merasakan suasana yang berbeda. Lazimnya acara reuni dilakukan secara khidmat lebih dulu. Tapi yang ini beda.
Dari awal sudah cair dan bahkan “over casual”. Seperti layaknya nonton stand up comedy. Audien saling berbalas canda dengan pembawa acara. Begitu pula pada sambutan ketua panitianya. Sementara sambutan dari guru nyaris tidak ada peduli.
Dari sambutan ketua panitia, saya tahu rupanya mereka udah sering reuni, tapi di tempat lain. Tepatnya di villa. Yang bayarin temen seangkatan dianggap sudah sukses. Kali ini mereka memilih sekolah tempat mereka belajar dulu untuk nostalgia. Katanya, untuk membantu almamater supaya jangan tutup alias bangkrut.
Bahasa terakhir ini yang membuat dahi saya mengkerut. Ko’ tutup?. Darimana mereka tau?. Apa sedemikian parahnya kabar di luar sampai bisa dibilang begitu?. Saya ingat kemudian diantara angkatan ini ada yang jadi pengurus Yayasan, yang tentu tahu kondisi dalaman. Memang kebiasaan saya memimpin organisasi selalu transparan kepada pengurus.
Dalam rapat bulanan kita ungkap semua masalah dan mencari solusinya. Kondisi keuangan adalah “top priority”. Karena itu dibahas paling awal. Tapi mengungkap aib sekolah sendiri pada orang luar bukanlah etika seorang pengurus tentunya. Rupanya, para hadirin kurang update dengan info terakhir. Karena itu saya jelaskan. Pertama, saya memimpin yayasan ini selama 30 tahun lebih.
Ketika yayasan lain terseok-seok sekarang ini, kami masih bisa bertahan. Ketika krisis dan konflik terjadi pada tahun 1988 (sebelum saya pulang dari Pakistan), dan sebagian orang di kampung ini memboikot dan meminta kerabatnya agar memindahkan anak-anaknya ke sekolah lain, kami juga masih bisa berdiri. Sekarang sekolah lain itu yang malah sepi muridnya.
Kedua, kondisi keuangan yayasan sekarang ini relatif stabil. Mengapa?, Karena kami pantau setiap saat dan segera cari solusi kalau ada masalah. Sebenarnya, yang diperlukan sekolah saya hari ini adalah wakaf ilmu, karena kita kekurangan guru ahli alias “expertise”.
Sejalan dengan keinginan menjadi sekolah dua bahasa (Arab-English), diperlukan para alumni yang bisa mengajarkan ilmu dalam dua bahasa tersebut. Tren hari ini, adalah bagaimana menciptakan para pelajar yang “huffaz” (hafiz) Qur’an.
Selain itu kita juga perlu para ahli digital, karena kedepan siswa/siswi kita harus bersaing dengan dunia yang dipenuhi teknologi informasi. Para hadirin kontan terdiam, seperti dugaan saya sebelumnya. Karena tidak ada satupun diantara mereka ahli dalam salah satu bidang tersebut.
Tapi, tidak ada sambutan yang bikin perut mules, selain sambutan atas nama alumni. Bikin mules, karena, kata anak sekarang, mau ketawa takut dosa. Sang alumni, yang katanya doktor memulai sambutannya dengan kata maaf, karena terlambat dan jarang ngumpul karena sibuk. Sibuk sebagai pejabat parpol tertentu yang sering melakukan kunjungan ke berbagai daerah dan luar negeri.
Rumahnya juga sering dikunjungi para menteri terutama dari para petinggi parpolnya. Dengan bangga dirinya akan pamerkan kepada para tamu bahwa di rumahnya yang besar dan mewah itu Ia menyantuni anak yatim yang diundang datang dari masyarakat sekitar rumahnya.
Sambutan diakhiri dengan pernyataan bahwa (lagi-lagi) supaya sekolah ini tidak tutup, Dia akan menyumbang sejumlah uang untuk sekolah dan meminta ketua panitia menyumbang dua kali lipatnya.
Ketua panita membalasnya dengan senyum kecut dan menimpalinya dengan ungkapan, “Setengahnya aja deh. Kalau calon Bupati sih pantes lah,”.
Rupanya yang sambutan itu berminat jadi calon Bupati Bekasi. Yang lebih lucu sumbangan tersebut Ia berharap diambil di rumahnya. (Hari gini, seorang doktor nyumbang masih pakai cash?. Orang mah udah pakai ATM, mobile banking, QR, Ovo, Gopay dan lain-lain).
Saya bilang mungkin nanti bendahara yang datang. (Walaupun dalam hati saya berkata, mungkin kita tidak akan mengirim seorang pun, karena meskipun kami miskin, pantang buat kami untuk mengemis. Kami memang suka pinjam, tapi kami kembalikan.
Kalau mau nyumbang ya nyumbang aja, kenapa harus nyuruh orang ngambil. Kasih aja nomor rekening sekolah. Kita khawatir kalau datang malah membantu orang berbuat riya’, yang membuat sumbangan jadi ngga berkah).
Selesai acara, saya diwawancarai asistennya tentang reuni. Katanya mau dimuat di YouTube. Temen-temen yayasan pada ketawa, karena mereka menyangka yang mewawancarai itu dari televisi nasional. Mereka bilang, kalau cuma YouTube mah anak kecil juga bisa. Dan ketua Yayasan sudah ngisi pengajian online dimana-mana.
Saya izin pulang karena masih ada acara lain. Sang tokoh mendampingi jalan sampai ke gerbang dalam. Katanya mau kondangan juga ke salah seorang yang punya Keluarga Besar di kampung ini. (Kebetulan saya tidak diundang).
Di depan gerbang Ia permisi pergi terlebih dahulu, lalu menaiki Camry keluaran tahun 2014 disopiri seseorang berpakaian khas jawara Betawi. Saya tidak komentar apa-apa, tapi teman-teman pengurus bilang, rupanya barengin pulang cuma mau nunjukin dirinya punya mobil merek camry, dan ketua yayasan cuma pake mobil merek inova.
Perut saya yang dari tadi mules karena menahan ketawa, akhirnya pecah juga.
Seseorang bertanya apakah reuni di pondok saya ada yang tipe begini?. Saya menggeleng.
“Kalaupun ada biasanya harus menghadapi pesaing yang enggak tanggung-tanggung. Ada alumni yang memiliki rumah gaya istana Alhambra, dengan 6 mobil mewah di garasinya. Tapi giliran Halal Bihalal cuma pakai Fortuner. Lagian kami punya tradisi memandang orang dari ilmunya, bukan jabatan atau kekayaannya. Itu yang diajarkan KH. Noer Alie kepada kami,” ucap saya.
Akhirnya, saya cuma bilang, orang hidup punya tujuan, cara dan gaya sendiri. Tapi yang kita tahu, kualitas pendidikan dan akhlak generasi kita berbeda dengan yang sesudahnya dan dengan sesudahnya lagi (terdahulu). Reuni hari ini memberikan hikmah berharga bahwa kita harus siap menyaksikan, bahwa kualitas pendidikan yang kita berikan berbeda hasilnya dengan apa yang kita harapkan.
Banyak faktor yang kemudian berpengaruh pada pembentukan karakter seseorang setelah mereka keluar dari sekolah. Dan kita hanya bisa berdoa, betapapun bedanya dengan kita, semoga mereka bermanfaat bagi orangtua, agama dan bangsa. Wallahu a’lam.
(Cecep Maskanul Hakim)