TerasBerita.ID-Profesi wartawan adalah kerja intelektual. Selain kebutuhan hidup sehari-hari, wartawan juga perlu meningkatkan intelektualnya seperti membeli buku dan meningkatkan kompetensinya di dunia akademis.
Standar Upah Minimum Kota (UMK) dan Upah Minimum Provinsi (UMP) kerap kali sering digunakan perusahaan media sebagai patokan untuk menggaji jurnalisnya.
Nominal UMP sendiri ditetapkan dari komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) kebutuhan sandang, pangan dan papan yang disurvei oleh Dewan Pengupahan masing-masing provinsi.
Misalnya, laptop merupakan menjadi salah satu kebutuhan pokok bagi para pekerja yang menjadi komponen KHL. Tapi bagi jurnalis, laptop bukanlah barang mewah melainkan kebutuhan utama wartawan untuk menunjang kinerja di lapangan yang makin dituntut lebih cepat dalam menyajikan informasi.
Alur kerja yang dituntut cepat, sering kali membuat para wartawan menghadapi tingkat stress yang tinggi, sehingga kebutuhan akan rekreasi sangatlah diperlukan. Terlebih, tanggung jawab wartawan sangatlah besar salah satunya menjadi penghubung antara sumber berita dan masyarakat luas.
Keakuratan merupakan satu hal penting dalam kerja seorang wartawan, tidak akurasinya informasi, tidak tepatnya penggunaan data, kesalahan fakta dan nama dalam sebuah berita, maka masyarakat pun mendapat informasi yang salah.
Sepertinya sulit dipercaya apabila wartawan digaji secara tak layak, tapi ya beginilah realitanya saat ini. Pada kenyataannya hari ini, gaji “kuli tinta” atau wartawan di Indonesia masih banyak yang di bawah rata-rata atau menerima gaji sangat rendah, dibandingkan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya sebagai pilar keempat demokrasi.
Rendahnya besaran gaji yang didapatkan oleh wartawan di Indonesia dapat memicu maraknya pemberian amplop. Budaya amplop salah satu penyimpangan fungsi dan tugas profesi wartawan yang dampaknya menghilangkan aspek independensi dari informasi yang disajikan.
Tak hanya wartawan di Ibu Kota, kesejahteraan bagi para wartawan yang bertugas di daerah juga tak kalah mengenaskan. Misalnya saja di wilayah Kota Tangerang. Banyak di antara mereka yang tak mendapatkan jaminan kesehatan dan memiliki gaji di bahwa upah minimum Kabupaten/Kota (UMK) atau UMP.
Padahal, Gubernur Banten Wahidin Halim telah menetapkan UMK tahun 2021 di Banten. Gaji terbesar masih dipegang oleh Kota Cilegon dengan Rp 4,31 juta per bulan.
Disusul UMK Kota Tanggerang yang akan menjadi Rp 4,26 juta per bulan. Kemudian UMK terendah di wilayah Banten yaitu Kabupaten Lebak dengan Rp 2,75 juta per bulan.
Meskipun UMP dan UMK di Kota Tangerang tidak paling besar, tapi nyatanya tak semua perusahaan media di Kota Tanggerang mampu membayar para jurnalisnya sesuai ketentuan.
Seorang wartawan yang pernah bekerja di salah satu media online di Kota Tanggerang, Hadi (26) yang ditemui penulis beberapa waktu lalu membagikan cerita pengalamannya. Ia mengaku telah bekerja sudah sekitar dua tahun sejak dia lulus kuliah, namun selama masa bekerja dirinya tak mendapatkan jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan.
Dalam kesepakatan kerjanya, pendapatan yang diterima dia bergantung pada jumlah berita yang dipublikasikan di portal tempat ia bernaung. Walaupun terikat dengan perusahaan media, status Hadi ini seperti freelance (tenaga lepas). Setiap berita yang dimuat akan dihargai senilai dua puluh ribu rupiah dan setiap sebulan Hadi hanya meraup sekitar dua juta rupiah.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sebanyak 33,34 juta orang di Indonesia yang bekerja sebagai pekerja paruh waktu atau pekerja lepas per Agustus 2020. Angka itu naik 4,32 juta orang atau 26 persen pada tahun 2021. Para pekerja independen di Indonesia menempati posisi terendah dari piramida perlindungan kerja.
Mengacu pada diatas, maka sudah sepatutnya pekerja independen seperti wartawan mendapatkan jaminan perlindungan dalam menjalankan profesinya untuk turut diatur dalam Undang-Undang (UU) Wartawan. Apalagi dalam melaksanakan pekerjaannya, wartawan seringkali dihadapkan oleh tugas-tugas dengan tantangan yang besar dan acaman.
Tantangan dan ancaman tersebut salah satunya resiko terhadap ancaman fisik oleh aparat dan massa. Sementara itu bila dibandingan, nampaknya posisi wartawan bahkan kalah dari buruh yang keamanan tenaga kerjanya dilindungi oleh UU No.13, tahun 2003.
Hal ini juga diperkuat dengan survei International Federation of Journalists (IFJ) yang diikuti 1.300 jurnalis dari 77 negara pada 26-28 April 2020 yang hasilnya menyebutkan, perlindungan terhadap jurnalis masih belum maksimal.
Adapun baru-baru ini tersiar kabar, pemerintah berencana menaikkan upah minimum tahun 2022. Seiring adanya wacana itu diharap terealisasi juga bagi profesi wartawan.
Tak hanya mendapatkan gaji yang sesuai, pemerintah dan lembaga legislatif pun perlu menberbitkan aturan yang mendukung para wartawan agar mendapatkan jaminan perlindungan dalam menjalankan profesinya. Sedangkan mengawal perusahaan media supaya benar-benar menjalankan apa yang telah diatur oleh UU.
Meski Dewan Pers telah mengatur Standar Perusahaan Pers dengan 17 ketentuan, tapi standar itu tidak sepenuhnya dipatuhi pengusaha media. Dengan demikian hal ini harus menjadi sorotan pemerintah dan para legislatif. Di sisi lain, wartawan perlu menuntut perusahaan yang menggaji mereka tidak sesuai ketentuan perundang-undangan.
Pemerintah juga perlu merancang standar gaji wartawan, standar ini nantinya akan menjadi parameter bagi berbagai pihak dalam memperjuangkan gaji wartawan yang layak.
#Fachri Septian