TerasBerita.id – Perguruan tinggi menghadapi sejumlah tantangan dalam mencetak lulusan yang kompeten. Salah satu tantangan utama adalah menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan dunia kerja terus berkembang akibat digitalisasi dan globalisasi.
Menurut Trilling dan Fadel (2009) dalam 21st Century Skills: Learning for Life in Our Times, pendidikan tinggi sering kali gagal mengintegrasikan keterampilan abad ke-21 seperti kreativitas, kolaborasi, dan literasi teknologi dalam proses pembelajaran.
Hal ini menyebabkan ketimpangan antara kemampuan lulusan dan tuntutan industri. Selain itu, menurut laporan McKinsey (2021), sekitar 60% pemberi kerja global melaporkan bahwa lulusan perguruan tinggi sering tidak memiliki keterampilan praktis yang dibutuhkan, seperti pemecahan masalah, komunikasi efektif, dan manajemen proyek.
Kurangnya kerja sama antara institusi pendidikan tinggi dan sektor industri juga menjadi salah satu penyebab. Tantangan Pendidikan Tinggi Memasuki era disrupsi teknologi saat ini, perguruan tinggi dan program studi menghadapi tantangan yang tidak ringan untuk menghasilkan lulusan yang berkarakter unggul dan berdaya saing dalam memasuki pasar kerja di tingkat nasional dan global.
Kompetensi lulusan perguruan tinggi jenjang sarjana yang rendah sering kali diakibatkan oleh beberapa faktor baik internal maupun eksternal. Salah satu faktor internal yang berkontribusi terhadap rendahnya mutu lulusan adalah kurikulum program studi yang rigid tidak fleksibel, stagnan tidak dinamis, konservatif tidak adaptif, content based tidak competency based bahkan tidak outcome based curriculum, pendekatan pembelajaran yang bersifat pasif, terlalu berfokus pada teori, tidak dilakukan kontekstualisasi, tidak mengembangakan berpikir tingkst tinggi seperti berpikir kritis, kreatif dan inovatif).
Masih banyak pembelajaran di perguruan tinggi yang bertahan dalam paradigma lama sebagaimana dikemukakan oleh Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed, dimana pendekatan pendidikan yang tradisional dan satu arah (“banking concept of education”) masih terjadi dan pendekatan tersebut sesungguhnya gagal membangun kemampuan berpikir kritis mahasiswa.
Pembelajaran yang tidak inspiratif, kurang menantang, kurang memberi motivasi belajar berkelanjutan, tidak menerapkan pendekatan pembelajaran kreatif dan inovatif seperti problem based learning, project based learning, differentiated based learning, digital based learning, dan deep lerning. Di Indonesia, Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2020 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka lulusan perguruan tinggi mencapai 5,73%.
Hal ini menunjukkan bahwa lulusan sarjana sering kali tidak memiliki kompetensi spesifik, seperti kemampuan teknis atau soft skills, yang membuat mereka kurang kompetitif di pasar kerja. Tahun 2015 Prof. Satrio Soemantri Brojonegoro melakukan survei nasional kepada CEO 500 perusahaan menengah dan kecil di empat pulau yaitu Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi.
Dari hasil survei nasional tersebut ditemukan bahwa menurut CEO Perusahaan tersebut ada 4 kelemahan utama lulusan sarjana yaitu 1). Tidak bisa membaca (lemah dalam membaca data dan informasi serta menafsirkannya); 2. Tidak bisa menulis (lemah dalam membuat tulisan baik, logis, argumentatif dan menulis laporan efektif); 3). Etos kerja rendah (rendahnya inisiatif, kerja kreatif dan inovatif); 4). Rendahnya kemampuan komunikasi (baik lisan dan tulisan serta penyajian gagasan atau ide).
Dari survei tersebut CEO tidak menjawab dan tidak mensyaratkan akreditasi program studi baik nasional maupun internasional sebagai hal penting untuk bekerja di perusahaan tersebut. Meskipun demikian, akreditasi program studi berstandar nasional tetap penting dilakukan program studi asalkan pelaksanaan akreditasi tersebut bukan seremonial hajatan program studi yang dilaksanakan secara insidental, melainkan sebagai nilai dan budaya kerja semua civitas akademika program studi.
Saatnya program studi meninggalkan akreditasi formalistik seremonmial yang hanay sebagai kegiatan sesaat dan kagetan serta tidak terhubung dengan praktik penyelenggaraan tri dharma perguruan tinggi. Mungkin bagi CEO perusahaan faktor yang utama harus dimiliki calon pekerja adalah kompetensi nyata dan kapasitas diri seorang calon pekerja dari hal lain sifatnya administratif.
Di antaranya, empat hal penting yang harus dimiliki calon pekerja yaitu kemampuan literasi yang baik, kemampuan menulis yang baik, etos kerja yang tinggi dan kemampuan komunikasi yang baik dan efektif.
Keempat kemampuan tersebut dikuti dengan kompetensi atau kecakapan teknis (hard skills). Kompetensi yang harus dimiliki lulusan sarjana sebagai tenaga kerja terdidik harus berdasarkan kompetensi nyata dan kapasitas diri konkrit yang merupakan gambaran kecakapan yang ada pada diri seseorang dalam praktik dan dunia kerja, tidak hanya pada kompetensi abstrak dan kapasitas diri abstrak.
Karena kompetensi abstrak dan kapasitas diri abstrak hanya merupakan gambaran kompetensi dan kapasitas diri pada seseorang yang hanya tertulis dalam dokumen semata seperti dalam dokumen kurikulum program sarjana dalam bentuk profil lulusan dan capaian pembelajaran lulusan tapi tidak simultan dengan realitasnya.
Begitu juga dokumen kurikulum program studi yang berbasis outcome based education (pendidikan berbasis dampak luaran atau Outcome Based Education atau OBE) bukan hanya sekedar tercantum dan tertulis dalam dokumen kurikulum program studi. Namun, dalam praktik tidak nampak dan tidak adanya sinkronisasi yang saling terkait dan berpengaruh antara outcome based curriculum (OBC), outcome based teaching and learning (OBTL) dan outcome based asessmeent-evaluation (OBAE). Pembentukan Sarjana Berkarakter Unggul dan Berdaya Saing Sarjana berkarakter unggul adalah individu yang tidak hanya memiliki kompetensi akademik yang didapat dari program studi, tetapi juga individu yang memiliki growth mindset, etika, integritas, serta kemampuan soft skills lainnya yang memungkinkan mereka menjadi pemimpin perubahan di masyarakat dan dunia kerja.
Sementara itu, sarjana berdaya saing adalah lulusan program sarjana yang mampu bersaing secara lokal maupun global, baik di dunia kerja maupun di sektor inovasi berdasarkan kompetensi dan kapasitas diri yang mereka miliki. Menurut Covey (2004) dalam The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness, ditegaskan bahwa individu unggul dan berdaya saing adalah mereka yang mampu mengintegrasikan tiga hal utama secara utuh dan sinergis yaitu kepemimpinan kepribadian, kompetensi profesional, dan kontribusi sosial.
Dalam konteks pendidikan tinggi, sarjana unggul adalah mereka yang tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga memiliki growth mindset, kemampuan adaptasi, kreasi, inovasi, komunikasi dan kolaborasi di era global. Lulusan unggul harus memiliki kemampuan adaptasi terhadap perubahan serta motivasi untuk terus belajar.
Menurut Kolb (1984) dalam Experiential Learning, pengalaman belajar yang mendalam (deep leaarning) dan berkelanjutan menjadi faktor kunci dalam membangun kompetensi yang relevan di dunia kerja yang terus berubah. Universitas Teknologi Nanyang (NTU) di Singapura adalah salah satu contoh perguruan tinggi yang berhasil mencetak sarjana unggul dan berdaya saing. NTU menerapkan Co-operative Education Program yang memungkinkan mahasiswa bekerja di perusahaan mitra selama satu semester penuh.
Selain itu, NTU menyediakan pelatihan AI dan data sains sebagai bagian dari kurikulum lintas disiplin. Hasilnya, lulusan NTU memiliki tingkat penyerapan kerja yang tinggi di pasar global. Program MBKM merupakan salah satu terobosan yang patut diapresiasi untuk menghasilkan sarjana unggul dan berdaya saing. Sarjana berkarakter unggul dan berdaya saing adalah individu yang memiliki kombinasi antara kompetensi akademik, soft skills, karakter, dan literasi teknologi.
Untuk mencetak lulusan seperti ini, perguruan tinggi harus berfokus pada reformasi kurikulum, penguatan kerja sama dengan industri, dan penanaman nilai-nilai pembelajaran sepanjang hayat. Sebagaimana dinyatakan oleh Nelson Mandela: “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.”
Di tengah kemajuan teknologi digital yang saat ini melahirkan teknologi artificial intellegence dan terjadinya disrupsi dalam berbagai bidang kehidupan, pembentukan growth mindset dan soft skills yang relevan dan dinamis menjadi hal yang sangat penting dalam proses pendidikan di pendidikan tinggi.
Menurut Prof. Satrio, pola pikir dan soft skills tidak bisa dengan cara instan melainkan dibentuk melalui proses panjang dan berkesinambungan. Sedangkan hard skills bisa dikondisikan. Karena itu CEO seperti dicontohkan McKinsey lebih mengutamakan mindset dan soft skills dalam proses rekruitmen calon pegawai dibandingkan hard skills Selanjutnya di tengah kemajauan dan perkembangan serta perubahan.
Prof. Abdul Haris (Dirjen Pendidikan Tinggi) menyatakan ada tiga tantangan besar yang dihadapi pendidikan tinggi yaitu akses pendidikan tinggi, mutu pendidikan tinggi dan relevansi pendidikan tinggi dengan dunia usaha dan dunia industri.
Karena itu ketiga tantangan tersebut harus dijawab oleh pendidikan tinggi dengan tepat, terukur dan berdampak bagi lulusan perguruan tinggi. Salah satu masalah dalam pendidikan tinggi yaitu relevansi. Karena itu Prof. Abdul Haris menekankan pentingnya pendidikan tinggi untuk selalu relevan dengan kebutuhan pasar kerja dan tuntutan zaman.
Perguruan tinggi harus mampu menghasilkan lulusan yang memiliki keterampilan dan pengetahuan yang sesuai dengan perkembangan industri dan teknologi saat ini. Untuk menghasilkan lulusan sarjana yang unggul dan berdaya saing serta relevan dengan pasar kerja dan dinamika kehidupan, perguruan tinggi atau program studi harus mengambil langkah-langkah strategis, antara lain:
a. Merekonstruksi Kurikulum Kurikulum program studi perlu dirancang berbasis pada kebutuhan industri dan pasar kerja, sebagaimana diusulkan oleh Drucker (1993) dalam Post-Capitalist Society. Model Outcome-Based Education (OBE). Desain model kurikulum OBE dapat menjadi solusi dengan memfokuskan pembelajaran kreatif, inovatif dan produktif yang berdampak pada hasil akhir pembelajaran berupa terwujudnya kompetensi nyata dan kapasitas diri nya bagi lulusan. Artinya OBE itu harus terlaksana dengan baik dalam praktik pembelajaran bukan sekedar sebagai dokumen yang tertulis indah.
b. Meningkatkan Keterlibatan Dunia Usaha dan Dunia Industri Kerja sama antara kampus dan dunia usaha dan dunia industri dalam bentuk berbagai bentuk seperti dalam penyusunan kurikulum program studi, kegiatan magang, proyek bersama, atau program pelatihan berbasis kerja (work-based learning) bagi calon lulusan sarjana dapat membantu mahasiswa mendapatkan pengalaman langsung terkait dengan keadaan yang ada di dunia kerja. Menurut Kolb (1984) dalam Experiential Learning, pengalaman praktis adalah salah satu cara paling efektif untuk membangun kompetensi nyata dalam diri peserta didik.
c. Memperkuat Karakter dan Soft Skills Pembelajaran di program studi perlu mengintegrasikan dan mensinergikan pembentukan soft skills seperti komunikasi, kepemimpinan, agilitas bekerja, complexs problem solving, adaptabilitas, kreativitas dan inovasi ke dalam kurikulum. Menurut Goleman (1995) dalam Emotional Intelligence, kemampuan emosional (yang berbentuk dalam soft skills dan growth mindset) memainkan peran yang sangat penting dalam keberhasilan individu termasuk lulusan sarjana di dunia kerja.
d. Digitalisasi dan Literasi Teknologi Dalam era Revolusi Industri 4.0, literasi digital dan literasi data menjadi keharusan. Kampus dan program studi perlu menyediakan pelatihan pemanfaatan teknologi digital dan pengolahan big data serta melaksanakan program sertifikasi kompetensi yang relevan agar lulusan mampu bersaing di era digital dan artificial intellegence. Menurut Schwab (2016) dalam The Fourth Industrial Revolution, perguruan tinggi harus mengadopsi teknologi (teknologi digital-teknologi artificial intellegence) terkini untuk mempersiapkan lulusan menghadapi disrupsi teknologi.
e. Mendorong Pembelajaran Sepanjang Hayat Kampus dan program studi dalam pelaksanaan pembelajaran melalui para dosen nya sebagai aktor utama dan terdepan perlu menanamkan budaya belajar sepanjang hayat (lifelong learning), lityerasi, numerasi dan iklim pembelajaran yang menantang dan menginspirasi kepada mahasiswa agar kompetensi tersebut terbentuk dalam diri mereka dengan baik. Hal ini penting karena dunia kerja terus berubah, dan lulusan harus memiliki kemampuan belajar mandiri untuk mengikuti perkembangan. Kemampuan belajar mandiri secara berkelanjutan menjadi faktor sangat penting untuk bisa survival seorang lulusan sarjana di tengah kemajuan dan dinam ika yang terus terjadi dan bergerak dengan cepat. Kesimpulan Menghadapi tantangan global, perguruan tinggi termasuk program studi harus mampu menjadi pusat kreasi dan inovasi yang adaptif dengan perubahan yang disruptif.
Dengan mereformasi kurikulum, reedukasi dosen, memperkuat hubungan mutualistik dengan dunia usaha dan dunia industri, dan memfokuskan pengembangan growth mindset, pengembangan soft skills, penguatan literasi teknologi, literasi data, kepemimpinan, dan penguatan kolaborasi, program studi dan perguruan tinggi akan dapat mencetak lulusan sarjana yang unggul dan berdaya saing serta relevan dengan dunia kerja, dunia industri dan dinamika sosial baik dalalm konteks nasional maupun global.
Sebagaimana dikatakan oleh John Dewey (1916) dalam Democracy and Education, “pendidikan bukan persiapan untuk hidup, pendidikan adalah kehidupan itu sendiri.” Dengan pendidikan yang komprehensif, sarjana unggul dapat menjadi agen perubahan yang mampu bersaing di tingkat global dan berkontribusi bagi kemajuan masyarakat.
Penulis : Abdul Rozak Dosen PIPS FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pengurus DPP GUPPI
Redaktur : Deros Rosyadi