TERAS BERITA.ID– “Sahur, Sahur. Sahur, Sahur. Banguuun, Sahur !,” teraik para remaja tanggung pasukan penabuh bedug memecah keheningan malam bulan puasa ramadan.
Para remaja tersebut rutin bergerilya di sudut kampung bahkan kota kompak dengan penuh semangat berjalan keliling kampung, demi membangunkan warga untuk santap sahur.
Apa sih sahur? Kata Sahur memiliki makna makan pada dini hari (disunahkan menjelang fajar sebelum subuh). Biasanya anak muda membangunkan sahur dengan pengeras suara di musola, Masjid berbalas pantun, bahkan yang menarik adalah menabuh bedug keliling kampung mulai dari jam 2-3 pagi.
Kegiatan sahur ini dilakukan bagi umat muslim yang akan menjalankan ibadah puasa di bulan ramadan.
Di dalam sahur ada keberkahan. Hal ini mengacu pada hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, bahwasanya Nabi Muhammad SAW berujar, bersahur itu adalah suatu keberkahan, maka janganlah kamu meninggalkannya, walaupun hanya dengan seteguk air, karena Allah dan para malaikat bersalawat atas orang-orang yang bersahur (makan sahur).
Imam Bukhari dan Muslim turut meriwayatkan adanya keberkahan dalam sahur. Dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu. Dia berkata, Nabi SAW bersabda, makan sahurlah kalian karena sesungguhnya di dalam sahur itu terdapat berkah.
Tradisi menbangunkan sahur di Indonesia berbeda-beda. Punya ciri dan keunikan masing-masing di setiap kampung bahkan daerah. Ini adalah sebuah kekayaan budaya masyarakat Indonesia.
Salah satunya di Kampung Pengarengan, Kaliabang Tengah, Kota Bekasi. Para remaja tanggung yang usai solat tarawih setelah tadarusan alquran biasanya mereka tidak lekas pulang ke rumah. Mereka menginap (tidur di musola/masjid) secara berjamaah dengan berselimut sarung kain. Pada jam 2 pagi dini hari sudah bangun, siap-siap berkeliling kampung dengan membawa senjata bedung dan gerobak.
Bedug dan gerobak tersebut didorong keliling kampung. Membangunkan warga yang masih terlelap tidur. Dari rumah ke rumah, dari gang ke gang hingga ujung kampung.
Gerombolan anak muda tersebut dengan semangat menabuh bedug sambil berteriak berkali-kali tanpa henti “sahur, sahur, sahur.Bangun sahur !!!”.
Kegaduhan mereka justeru sangat membantu warga yang mungkin tidak bisa bangun lantaran lelapnya tidur, jika tidak ada pasukan penabuh bedug sahur pasti kesiangan, alamat tidak sahur.
Ada beberapa warga yang secara tidak langsung mengucapkan terima kasih kepada para “pejuang bangunin sahur” dengan memberikan makanan, kue cina, tape dan uli atau makanan lainnya.
Tapi, tidak semua warga baik hati dan merasa tertolong. Ada beberapa warga merasa terganggu dengan cara anak muda membangunkan sahur pakai bedug berkeliling kampung. Alasannya, berisik, mengganggu anak kecil yang sedang tidur dan sebagainya.
Tidak jarang, para pemuda tersebut dimarahi, bahkan dikejar-kejar warga agar menghentikan tabuhan bedung dan teriakan bangunin sahur.
Tapi biasanya, para anak muda sudah hapal, mana rumah warga yang “galak”. Istilahnya zona angker pasti itu bedug tidak ditabuh. Lebih baik memilih jalan senyap tanpa suara bedung dan teriakan sahur daripada kena serampangan warga yang galak.
Dulu, tiap tahun tradisi membangunkan sahur rutin saat bulan ramadan. Tidak afdol rasanya jika bangun sahur tanpa ada suara gemuruh anak muda di depan rumah.
Itu dahulu, sekarang zaman sudah berubah, terkikis oleh teknologi. Bangunin sahur cukup dengan menyetel audio solawatan, ceramah ustad atau kyai di telepon pintar alias handphone (HP) sudah bisa bangunin warga sahur.
Setiap zaman ada orangnya, setiap orang ada masanya. Begitulah peribahasa berujar.
Semoga tradisi bangunin sahur tetap lestari, meski tinggal sedikit anak muda yang peduli dengan tradisi tersebut.
Tradisi bangun sahur kini atau nanti mungkin tinggal kenangan dan cerita, tradisi tersebut ada ditangan para anak muda penerus estafet kehidupan
Yuk, bangun sahur. Sahur, sahur, sahur !
(Dede Rosyadi, Jurnalis dan Dosen Ilmu Komunikasi)