Terasberita.id, Bekasi– Menyambat Slametan, tasyakuran atau sedekahan menjadi bagian tradisi di masyarakat Indonesia, termasuk di Bekasi, Jawa Barat. Kebiasaan ini sudah turun temurun sejak dahulu.
Terutama di Bekasi yang mayoritas beragama Islam, mereka biasanya menggelar selamatan usai Magrib. Satu utusan sohibul hajat (tuan rumah) pada sore hari keliling mengundang para tetangga dengan undangan lisan.
Biasanya yang hadir bisa ratusan orang, tergantung luas perkampungan tersebut dan sesuai kemampuan sohibul hajat ngundang para tetangga. Jika bajet minim biasanya hanya tetangga dekat saja yang disambat (undang).
Tasyakuran banyak macamnya. Ada tasyakuran hasil panen padi, menempati rumah baru, sunatan bocah, hajatan kawinan, sukuran kenaikan jabatan, kelulusan, dan lain sebagainya.
Yang diundang juga kaum laki-laki, mayoritas sudah berkeluarga. Undangan prioritas dilayangkan ke rumah ustad kampung, minimal dua orang ustadz. Satu sebagai pemberi tausiah (ceramah) dan satu ustadz lagi sebagai pembaca doa penutup.
Kadang ustadz tidak dibayar hanya dibekali beraneka besek berupa nasi, kue dan aneka buah-buahan. Ustadz di kampung dulu masih memegang teguh sebuah keikhlasan tanpa pamrih.
Dalam ritual selamatan tersebut biasanya para jemaah bareng-bareng melantunkan zikir, tahlil dan tahmid. Setelah itu ditutup doa dan makan kue khas kampung. Ada juga Tuan rumah yang membekali besek (berkat) berupa nasi plus lauk pauk untuk dibawa pulang.
Tradisi sambat menyambat hajatan sedekahan ini sudah berlangsung lama khususnya di perkampungan Bekasi. Sederhana tapi sakral, dan sudah menjadi bagian dari lokal wisdom sejak orang tua terdahulu.
(Dede Rosyadi)