TERASBERITA.ID – Generasi sekitar tahun 90-an pasti pernah mengalami adanya telpon umum. Pada tahun itu sedang ramai dimana-mana, termasuk di Bekasi.
Saat itu jika ingin menghubungi seseorang, baik keluarga, kawan, kolega, bahkan pacar yang rumahnya sudah ada telpon, maka musti keluar rumah cari telpon umum. Maklum, tidak semua orang punya telpon. Saat itu telpon rumah masih langka, apalagi handphone.
Di Bekasi, dulu banyak sekali telpon umum. Hampir ditiap gang perumahan ada. Uniknya, jika kita ingin menelpon seseorang, musti bawa uang koin recehan pecahan minimal 500 rupiah.
Koin rupiah itu dimasukin ke lobang yang tersedia di kotak persegi empat. Jika sudah bunyi, cekrak. Maka berhasil, tersambung lah nomor telpon yang kita tuju. Kadang telpon umum ini juga dipakai buat menelpon ke penyiar radio, kirim-kirim salam sekaligus request lagu.
Sialnya, kalau lagi bermasalah, koin yang dimasukin suka nyelos alias tidak berhasil masuk ke dalam kotak. Musti berkali-kali kita masukan koin receh tersebut, berkali-kali juga kita taruh gagang telpon.
Memang kadang ngeselin tapi seru juga. Apalagi jika telpon kita diangkat sama orang yang kita tuju. Bahagianya bukan main, mendengar suara orang tersebut. Meski hanya, say hallo tanya kabar.
Tapi ingat, durasi telpon umum juga sangat singkat. Ada argo terus berjalan di kotak persegi empat tersebut, jika ingin telponan lama, siap-siap saja bawa koin receh sebanyak mungkin. Jika argo mulai habis, musti masukin koin rupiah lagi. Begitu seterusnya.
Seiring waktu berjalan, muncul penyedia jasa telpon, yakni Wartel dengan konsep ‘manusiawi’, yakni bisa menelpon di ruangan yang disekat-sekat ada kipas anginnya. Tidak lagi lelah berdiri seperti di telpon umum di pinggir jalan dan antri. Bayarnya juga sudah tidak pakai koin.
Zaman terus berubah, teknologi juga terus berkembang. Telpon umum dan Wartel tergerus dan hilang, lantaran muncul telpon genggam, mulai dari handphone sistem poliponik, hingga sekarang berbasis smart phone.
Kini, orang sudah bisa menelpon berjam-jam. Tidak khawatir koin receh habis, tidak cemas melihat argo berputar, apalagi mengantri demi mendengar suara orang kesayangan.
(Dede Rosyadi)