TerasBerita.id – Universitas Muhammadiyah Jakarta bekerjasama dengan Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, atas dukungan dari Perguruan Attaqwa dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi Republik Indonesia menyelenggarakan Pelatihan Paralegal Untuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi di Aula KH. Mas Mansyur Universitas Muhammadiyah Sidoarjo pada 8-9 Oktober 2024.
Kegiatan pelatihan ini diikuti oleh 74 anggota satuan tugas yang berasal dari 39 kampus di wilayah Jawa Timur. Kegiatan dibuka langsung oleh Direktur Kemahasiswaan dan Alumni Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Arif Senja Fitrani. Pelatihan ini mengundang Khaerul Umam Noer dan Ati Kusmawati dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Asmaul Khusnaeny, Dahlia Madanih dan Indah Sulastry dari Bale Perempuan, dan Noeroel Kentjono Endah Triwijati dari Universitas Surabaya sebagai narasumber.
Sebagai penanggungjawab kegiatan, Khaerul Umam Noer, menjelaskan bahwa program ini pada awalnya merupakan bagian dari riset katalis yang merupakan riset kolaboratif antara Universitas Muhammadiyah Jakarta, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta, dan Universitas Indonesia. Riset ini bertujuan untuk mengevaluasi implementasi Permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi.
Pelatihan sengaja dipusatkan di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, sebab menurutnya Umsida merupakan salah satu kampus di Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah yang memiliki kepedulian tinggi terkait PPKS. Selain itu diharapkan bahwa Umsida mampu mengambil peran lebih sebagai simpul utama komunikasi antar satuan tugas di kampus-kampus di Jawa Timur.
Hasil penelitian menunjukkan, terdapat banyak kendala dalam implementasi Permendikbudristek ini di lapangan, dimulai dari minimnya dukungan dan fasilitasi kampus dalam hal pembiayaan program PPKS, banyaknya kampus yang belum memiliki peraturan rektor yang mengatur tentang implementasi, tidak tersedianya pedoman operasional standar dalam penerimaan laporan hingga rekomendasi, dan terbatasnya kemampuan anggota satuan tugas dalam penanganan kasus.
Hal ini mendorong Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Perguruan Attaqwa sepakat untuk mengadakan pelatihan paralegal untuk satuan tugas, terlebih kerjasama ini sudah terjalin sebelumnya melalui berbagai program pencegahan dan penanganan kekerasan. Kerjasama kali ini secara spesifik memang ditujukan untuk penguatan paralegal, karena karena sangat sedikit kampus yang memiliki fakultas hukum, terutama kampus-kampus yang berlatar keilmuan sains dan teknologi, seperti politeknik dan institut kesehatan, yang anggota satuan tugasnya dipastikan tidak memiliki latar belakang hukum.
Menurutnya, solusi yang paling logis adalah paralegal. Berbeda dengan advokat, paralegal adalah Paralegal adalah masyarakat umum, dalam hal ini satuan tugas, yang memiliki pengetahuan hukum dan keterampilan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan keadilan. Keberadaan paralegal ini penting, sebab dapat mendorong akses keadilan bagi korban, terutama dalam penanganan laporan dan pendampingan yang merupakan tugas dari satuan tugas PPKS.
Kebutuhan paralegal dirasa sangat mendesak, sebab dalam penanganan laporan kekerasan, tanpa pengetahuan yang memadai tentang bagaimana laporan harus ditindaklanjuti, justru berpotensi menyebabkan tindaklanjut kasus menjadi tidak optimal, atau justru mendorong korban mengalami viktimisasi berganda, tandasnya.
Dalam pelatihan ini, para anggota satuan tugas banyak berdiskusi tentang kasus-kasus kekerasan yang muncul di kampus, mulai dari perundungan, kekerasan psikis, dan kekerasan seksual, seperti rayuan, lelucon bernada seksis, hingga kekerasan seksual berbasis online seperti mengirimkan konten seksual bahkan doksing atau menyebarluaskan informasi dan gambar yang bersifat pribadi ke publik.
Lebih jauh, setelah memahami tentang bentuk-bentuk kekerasan seksual yang muncul, para peserta juga berbagi pengalaman tentang penanganan yang dilakukan di masing-masing kampus. Dalam pelatihan ini juga dibahas tentang bagaimana memahami urgensi pelaporan dan asesmen awal kebutuhan korban, misalnya apakah korban atau pelapor harus segera diselamatkan karena gangguan yang mengancam nyawa, atau perujukan ke unit layanan konseling bagi korban yang membutuhkan.
Pelatihan ini direspon antusias oleh para peserta, di mana dalam pelatihan ini para anggota satuan tugas juga banyak membahas tentang bagaimana tahapan penanganan laporan, standar layanan, mekanisme rujukan, hingga diskusi intens tentang manajemen kasus. Pembelajaran ini diharapkan menjadi modal dasar bagi anggota satuan tugas dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
( Dede R )