TERAS BERITA.ID, BEKASI – Perjalanan ini memang sedikit menantang. Sebab kami (Acan dan Deros) memutuskan berangkat mendadak dan dengan persiapan seadanya.
Tujuan untuk silaturahim, berbicara apakah ada jejak antara Syech Asnawi dengan Kyai Noer Alie, Bekasi yang dikabarkan sempai ‘hijrah’ ke wilayah Banten. Berbicara soal perjuangan, organisasi, hingga peran dakwah para ulama kepada masyarakat sekitar.
Berbekal keyakinan dan semangat 45, kami memutuskan berangkat pada malam hari, tengah malam menggunakan roda dua alias sepeda motor matik.
Sebelumnya, kami mengecek rute perjalanan dan estimasi waktu di google map. Terlihat estimasi perjalanan sekitar 4 jam, rute Bekasi- Jakarta Timur- Jakarta Barat- Tanggerang- Serang- Ciomas dan sampailah rute tujuan, yakni Labuan, Caringin, Banten, Jawa Barat.
Sekitar pukul 00.52 kami start berangkat dari Kp. Tanah Tinggi, Setia Asih, Bekasi Utara dengan motor berkekuatan 150 cc.
Udara dingin tentu terasa dan jalan sudah lenggang. Membuat perjalanan lancar tanpa macet di jalan. Hujan gerimis mulai turun, perjalanan sempat berhenti di warung kopi (warkop) pinggir jalan di sekitar wilayah Bitung Jaya, Serang, Banten.
Usai subuh, kami tancap gas kembali. Melanjutkan rute perjalanan yang dipandu oleh google map. Rute lurus memanjang tanpa kelok, membuat kami dengan mudah melakukan perjalanan tanpa banyak tanya ke orang.
Jelang pagi sekitar pukul 06 WIB. Kami sampai di daerah Ciomas. Hujan turun tanpa jeda, sesekali kami terpaksa berhenti mencari tempat ngaub (berteduh).
Beberapa kali kami merapat ke rumah penduduk sekitar pinggir jalan untuk menghindari basa kuyup dari terpaan air hujan.
Ada yang menarik, saat kami mencari sarapan pagi di sekitar wilayah Ciomas tersebut. Harga dua porsi lontong sayur penuh, satu gorengan bakwan plus teh hangat dibanderol murah hanya Rp.12 ribu saja.
Cukup murah jika dibandingkan harga di Bekasi, Jakarta dan sekitarnya. Suasana perkampungan memang terasa di kampung tersebut, mayoritas warganya memelihara burung perkutut, kutilang, tekukur dan burung ocehan kampung lainnya. Jadi pagi itu terasa nuansa alam, burung berkicau sambil menikmati pemandangan pohon kelapa yang menjulang tinggi di sudut-sudut pedesaan.
Hari semakin siang, matahari nampak diufuk timur dan hilir mudik warga sekitar mulai kembali beraktifitas. Beberapa angkot berwarna kuning polos sesekali melintas, melaju dengan kencang lantaran jalan yang mulus dan lurus memanjang.
Setelah sarapan pagi, kami kembali menyalakan motor, meluncur ke tujuan awal, Caringin, Banten.
Hujan kembali turun, semakin deras dan sesekali dibarengi angin kencang, dan pohon tumbang dipinggir jalan raya membuat kami harus menepi lagi.
Beberapa kali kami menepi di pinggir jalan sebab hujan kadang hadir begitu saja, tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Sebentar hujan, sebentar reda. Begitu ritme saat kami melanjutkan perjalanan dari Ciomas hingga Labuan.
Dari Labuan google map memberikan keterangan bahwa waktu jarak tempuh tinggal 32 menit lagi. Semangat kami mulai muncul kembali, sebab jaket dan pakaian kami basah kuyup yang membuat kami mager (malas gerak).
Tapi, lantaran tekad sudah bulat. Pantang pulang sebelum sampai tujuan. Belilah kami jas hujan tipis merek angsa, minimal rasa dingin di badan tidak terlalu menusuk kulit. Pakai jas bentuk plonco, tancap gas, terabas jalan yang berkelok-kelok, naik turun lembah gunung. Sesekali kami dihadang jalan berlobang, membuat laju kendaraan terpaksa harus pelan.
Akhirnya, setelah melewati jalan raya yang berkelok-kelok dan masih banyak pohon rimbun di kanan dan kiri bahu jalan, sampailah kami di Caringin, Banten.
Terlihat nampak gapura bertuliskan Makam Aulia Syech Asnawi. Plang Pesantren Al – Qur’an Syihabuddin Bin Ma’mun.
Sampailah di lokasi yang kami tuju. Angin kencang dan hawa laut terasa, sebab lokasi yang kami tuju memang di dekat bibir pantai.
Selang beberapa waktu, kami dijemput dan diantar ke kobong pesantren oleh salah satu santri Kyai Tubagus Hasan Aang yang memang diketahui sebagai salah satu turunan Syech Asnawi Caringin Banten.
Di Kobong santri tersebut sudah disiapkan kamar jika ingin istirahat. Selain itu, ada termos dan kopi khas Banten yang memang disediakan buat tamu.
Benar-benar terasa mantap kopi tersebut terasa dilah sampai tenggorokan. Kopi hitam dicapur gula aren.
Beberapa kobong dikonsep dengan nuansa saung, mayoritas bangunan terbuat dari bambu, di kelilingi pohon rindang dan tanaman hias.
Di sudut halaman ada beberapa hewan ternak, ada seperti domba, ayam dan lebah.
Ya, pengasuh pesantren tersebut memang memaksimalkan pesantren dengan nuansa perkampungan dan menyatu dengan alam.
Benar-benar nyaman, terbayar sudah perjuangan perjalanan dari Bekasi- Banten, diguyur hujan. Semua itu hilang, saat kami tiba di pesantren Al- Qur’an Syihabuddin Bin Ma’mun. (Deros/Acan).