TerasBerita.id – Perguruan Attaqwa bekerjasama dengan Universitas Muhammadiyah Jakarta kembali menyelenggarakan pelatihan paralegal untuk satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan di perguruan tinggi.
Kegiatan ini merupakan rangkaian dari pelatihan untuk satuan tugas yang didukung penuh oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia melalui skema Hibah Katalis tahun 2024.
Kegiatan bertempat di Aula Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Jakarta pada selasa-rabu, 5-6 November 2024.
Sebagaimana pelatihan sebelumnya, kegiatan ini diikuti oleh 89 orang anggota satuan tugas yang berasal dari 51 kampus di wilayah Jakarta dan Banten.
Pelatihan dibuka langsung oleh Wakil Rektor IV, Dr. Septa Candra, menghadirkan Dr. Ati Kusmawati dan Dr. Khaerul Umam Noer dari UMJ, Dr. Lidwina Inge Nurtjahyo dari Fakultas Hukum UI, dan Asma’ul Khusnaeny, Dahlia Madanih, dan Indah Sulastry dari Bale Perempuan.
Dalam sambutannya, Khaerul Umam Noer yang juga Sekretaris Perguruan Attaqwa menjelaskan, bahwa kerja kolaboratif dengan Universitas Muhammadiyah Jakarta sudah terjalin lama dan fokus upaya mengakselerasi ekosistem kampus aman di Indonesia.
Menurutnya, sejalan perubahan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 menjadi Nomor 55 Tahun 2024, tugas dari satuan tugas di level kampus menjadi lebih berat dan menantang.
Pada Permendikbudristek sebelumnya, tugas satuan difokuskan pada pengentasan kekerasan seksual, namun pada Permendikbudristek baru lokusnya diperluas menjadi seluruh bentuk kekerasan.
Dalam regulasi yang baru, terdapat penambahan bentuk kekerasan, mulai dari kekerasan fisik, non fisik, perundungan, seksual, intoleransi, dan kebijakan yang mendorong kekerasan.
Dengan semakin luasnya area cakupan kekerasan, maka hal ini dipastikan menambah beban kerja satuan tugas di masing-masing kampus.
Sesuai dengan hasil penelitian, terdapat satu pola yang relatif sama, terutama untuk kampus-kampus menengah dan kecil, tentang bagaimana bentuk kekerasan terjadi, kanal pelaporan, mekanisme penanganan, rekomendasi, hingga tindak lanjut.
Hal ini semakin diperberat dengan masih banyak kampus yang memiliki prosedur operasi baku yang dapat menjadi acuan dan pedoman dalam implementasinya.
Kondisi ini tentu mengkhawatirkan, sebab satuan tugas adalah ujung tombak yang dimiliki oleh kampus untuk mencegah dan menangani kekerasan.
Menurutnya, hadirnya Permendikburistek baru membuka peluang lebih bagi kampus, terutama dengan masuknya unsur kewajiban kampus untuk melakukan pembinaan, penyediaan sarana dan prasarana, hingga penganggaran pelaksanaan program-program satuan tugas.
Di sisi lain, komitmen ini tentu tidak banyak berarti jika satuan tugas tidak memiliki regulasi turunan sebagai payung hukum, dan tidak tersedianya prosedur baku yang dapat diacu.
Hal ini yang menjadi landasan bagi pelaksanaan pelatihan kali ini. Berbeda dengan kegiatan pelatihan yang telah dilaksanakan sebelumnya, kegiatan pelatihan ini tidak hanya memberikan pengayaan terkait bagaimana tata kelola laporan, mulai dari penerimaan laporan hingga rekomendasi, namun juga memberikan pengetahuan praksis tentang bagaimana membangun sistem dan pedoman operasional baku.
Melalui pelatihan ini, peserta diajak untuk berbagi pengalaman dalam penerimaan laporan, pendampingan, dan penanganan. Dalam sesi ini peserta lintas kampus bercerita tentang kasus-kasus kekerasan terjadi di kampusnya masing-masing, mulai dari kekerasan fisik, perundungan yang berujung pada depresi, kekerasan seksual mengakibatkan korban mengalami kecemasan hingga post-traumatic stress disorder.
Menurutnya, kasus-kasus yang terjadi di wilayah Jakarta dan Banten semakin menegaskan bahwa pengelola kampus harus lebih berkomitmen untuk melakukan pencegahan dan penanganan.
Pencegahan bukan hanya edukasi parsial melalui seminar-seminar, namun juga memasukkan elemen anti kekerasan ke dalam struktur pembelajaran dan budaya kampus.
Komitmen pengelola kampus, baik swasta maupun negeri, sangat krusial, sebab sudah banyak kasus di mana satuan tugas mengalami beban berlebih, beberapa satuan tugas harus bubar karena minimnya dukungan, hingga mengundurkan diri karena mengalami depresi akibat tidak adanya sistem dukungan baik dari kampus.
Melalui pelatihan ini, diharapkan para anggota satuan tugas tidak hanya belajar dan memahami kompleksitas persoalan, namun lebih penting lagi berjejaring antar kampus dan lembaga layanan.
Menurutnya, program Merdeka Belajar Kampus Merdeka digagas Nadiem dapat menjadi peluang, misalnya kampus dapat bekerjasama dengan Lembaga Bantuan Hukum atau Forum Pengada Layanan melalui skema magang, sehingga baik LBH maupun FPL dapat memperoleh tambahan personel, mahasiswa dapat meningkatkan skill dan pengalaman, dan kampus memiliki dukungan terutama ketika terjadi kebutuhan yang mendesak seperti rumah aman atau bahkan jika satuan tugas mengalami gugatan.
“Kampus harus berpikir kreatif dan inovatif, tidak lagi menjadikan kekerasan dan penanganannya sebagai business as usual, hingga ekosistem kampus aman dapat segera terwujud,” pungkasnya.
(Ragil / Lia )