TerasBerita, Nasional – Menyambut Hari Santri Nasional, Perguruan Attaqwa menggelar seminar bertajuk Pesantren Ramah Anak Upaya Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak di Pondok Pesantren di Aula Yayasan Attaqwa (24/10). Acara dihadiri oleh 124 pengasuh dari 47 pondok pesantren di Kabupaten Bekasi.
Kegiatan seminar dibuka Pimpinan Perguruan, Dr. KH. Irfan Mas’ud, MA. Menghadirkan Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama RI Dr. Basnang Said, Komisioner Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia Dr. Aris Adi Leksono, Ketua Program Studi PGMI UIN Syarif Hidayatullah Dr. Dindin Ridwanudin, Ketua Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat Dr. Dewi Purnamawati, Women Crisis Center Bale Perempuan Bekasi Asma’ul Khusnaeny, dan Direktur Rahima Pera Sopariyanti.
Dalam sambutannya, Kiai Irfan menjelaskan, bahwa kegiatan seminar ini merupakan respon Perguruan Attaqwa atas hadirnya Keputusan Dirjen Pendidikan Islam tentang pesantren ramah anak.
Menurutnya, melihat trend pemberitaan yang terjadi, banyak kasus kekerasan di pondok pesantren, hal ini mengherankan sebab pesantren adalah lembaga pendidikan berbasiskan nilai-nilai keislaman yang rahmatan lil alamin, yang salah satunya adalah penggunaan kasih sayang bukan kekerasan.
Perguruan Attaqwa sendiri menyambut baik hadirnya kebijakan perlindungan anak dan diharapkan dapat mengakselerasi hadirnya pesantren yang ramah anak.
Tampil sebagai pembicara kunci adalah Direktur PD Pontren Kemenag RI, yang dalam paparannya menjelaskan bahwa Kementerian Agama memiliki komitmen penuh untuk mencegah dan menangani kekerasan, termasuk di pondok pesantren.
Komitmen ini menurutnya tidak hanya karena kewajiban sebagai penyelenggara urusan keagamaan, namun juga kekerasan tidak sejalan dengan nilai-nilai keislaman. Nabi Muhammad SAW tidak pernah memerintahkan ummatnya untuk melakukan tindakan keji dan munkar, sehingga perundungan, intimidasi, hingga perbuatan cabul tidak dapat ditoleransi.
Lebih lanjut Direktur PD Pontren menjelaskan, bahwa orangtua sangat berperan dalam memilih lembaga pendidikan untuk anak. Menurutnya, orangtua harus selektif dalam memilig pesantren.
Di sisi lain, kritik juga disampaikan kepada media massa yang cenderung menggeralisir. Tidak berarti ada satu bangunan, lalu ada beberapa orang memakai sarung keluar masuk, lalu dianggap bahwa tempat tersebut adalah pondok pesantren.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka upaya yang dilakukan oleh Kementerian Agama melalui pesantren ramah anak adalah mengatur tentang standar minimal yang harus dipenuhi oleh setiap pondok pesantren untuk menjamin terpenuhinya hak anak.
Perlu diketahui, ada empat puluh satu ribu lebih pesantren dengan hampir lima juta santri, angka yang ada bisa jauh lebih besar karena banyak lembaga pengajaran agama Islam yang ada di masyarakat tidak terdaftar.
Dengan jumlah yang demikian besar, maka sangat penting bagi pesantren-pesantren untuk memahami indikator minimal yang harus dipenuhi, apalagi hak anak sangat kompleks, mulai dari hak pendidikan, pengasuhan, perlindungan, hingga hak untuk mengkonsumsi makanan yang halal dan bergizi.
Lebih jauh, Direktur PD Pontren mendorong setiap pesantren untuk meningkatkan standar kenyamanan, tidak hanya dari sisi bangunan, namun juga lingkungan alam. Menurutnya, hadirnya penghijauan di pesantren dapat menjadi solusi untuk menghadirkan lingkungan belajar yang asri dan nyaman, sehingga dapat mendorong prestasi santri.
Di samping itu, dengan pesantren yang hijau, juga dapat menjadi solusi pesantren terhadap pemanasan global.
Kebijakan pesantren ramah anak diharapkan mampu memenuhi seluruh hak santri, sehingga dapat menghadirkan santri-santri yang berprestasi, memiliki akhlakul karimah, dan pada gilirannya menjadi insan yang produktif untuk Indonesia maju ke depan, tandasnya.
(Surendro /red.Ken)