TerasBerita.id, Nasional – Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, telah lama dikenal dengan tradisi keilmuannya yang kuat dan nilai-nilai luhur diwariskan secara turun-temurun. Sistem pengajaran kitab kuning, metode sorogan, bandongan, dan halaqoh, serta nilai-nilai seperti tasamuh, ta’adul, tawazun, dan tawassuth, telah membentuk karakter santri yang khas, cerdas, berakhlak mulia, dan memiliki kepekaan sosial tinggi.
Namun, di tengah gelombang globalisasi dan digitalisasi yang begitu pesat, pesantren kini dihadapkan pada tantangan besar.
Bagaimana agar pesantren dapat beradaptasi dengan zaman modern tanpa kehilangan jati diri dan tradisi luhurnya?, serta merawat tradisi, menyongsong pesantren inovatif, transformatif dan menjadi pusat kemandirian dan digitalisasi keilmuan.
Saini, dalam tulisannya menyinggung tantangan adaptasi ini. Pesantren harus mampu menyeimbangkan pelestarian warisan keilmuan klasik dengan integrasi teknologi dan metode pembelajaran modern agar tetap relevan. Bukan hanya itu, peran pesantren dalam mencetak ulama yang kompeten juga diuji.
Mencetak ulama yang memiliki pemahaman agama komprehensif dan spiritualitas tinggi membutuhkan proses panjang dan intensif, sehingga berpotensi mengancam kesinambungan tradisi keilmuan yang selama ini bergantung pada figur sentral kiai.
Tantangan lainnya datang dari modernitas itu sendiri. Masyarakat mempertanyakan kemampuan pesantren dalam mengadopsi nilai-nilai modern tanpa meninggalkan tradisi. Pesantren dituntut untuk adaptif, namun tetap selektif dalam memilih unsur modernitas yang sesuai.
Tantangan ini diperkuat oleh tuntutan kebangsaan dan ideologis. Pesantren diharapkan menjadi garda terdepan dalam memperkuat nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika, membentengi generasi muda dari krisis moral dan ideologi yang mengancam persatuan bangsa.
Di sisi lain, sistem kepemimpinan sentralistik dan manajemen otoriter yang masih bergantung pada figur kiai tunggal, juga menghambat pembaruan dan modernisasi internal pesantren.
Lebih lanjut, keterbatasan metodologi pembelajaran menjadi penghalang dalam memenuhi tuntutan pendidikan modern. Pesantren perlu mengembangkan paradigma pembelajaran yang lebih kontekstual, inovatif, dan emansipatoris, membebaskan potensi peserta didik secara menyeluruh, baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Keterbatasan sumber daya manusia, sarana prasarana, dan akses teknologi, terutama di pesantren salaf, semakin memperburuk keadaan.
Oleh karena itu, merawat tradisi keilmuan dan nilai-nilai luhur pesantren sembari melakukan transformasi yang inovatif, informatif, dan transformatif menjadi sangat penting. Pesantren harus mampu menjadi pusat kemandirian ekonomi melalui pengembangan usaha berbasis potensi lokal dan digitalisasi keilmuan.
Hal ini bertujuan untuk mencetak generasi santri yang unggul secara intelektual, spiritual, dan ekonomi di era modern. Pesantren menghadapi dilema, yakni mempertahankan tradisi yang sudah lama terjaga dengan tuntutan modernisasi dan digitalisasi yang tak terhindarkan.
Keberhasilan menjawab dilema ini akan menentukan peran dan kontribusi pesantren dalam membangun sumber daya manusia yang berkarakter dan berdaya saing di masa depan.
Para tokoh penting seperti Ketua Umum DPP PKB, DR. H. Abdul Muhaimin Iskandar, dan Ketua Dewan Syura DPP PKB, Prof. Dr. KH Ma’ruf Amien, menekankan pentingnya pesantren yang informatif dan transformatif, menjaga tradisi sekaligus melakukan perubahan berkelanjutan menuju kebaikan.
Ketua Dewan Syura DPP PKB, Prof. Dr. KH Ma’ruf Amien, menegaskan pentingnya pesantren sebagai lembaga yang informatif dan transformatif. Pesantren harus menjaga tradisi sekaligus melakukan perubahan berkelanjutan menuju kebaikan.
Paradigma pesantren berdasarkan ajaran Ahlussunah wal Jama’ah yang moderat, dinamis, dan berorientasi perbaikan menyeluruh. Pesantren perlu memperkuat pemahaman agama dan ilmu pengetahuan agar mampu berinovasi dan berkontribusi nyata bagi masyarakat. Kepemimpinan pesantren harus diambil untuk kemaslahatan umat, bukan kepentingan pribadi.
Mereka juga menyoroti pentingnya paradigma pesantren yang moderat, dinamis, dan berorientasi perbaikan menyeluruh, serta kepemimpinan yang berorientasi kemaslahatan umat.
Prof. Dr. KH Nasaruddin Umar juga menekankan pentingnya pesantren sebagai institusi pendidikan spiritual yang memberikan kontribusi signifikan bagi sejarah dan kemerdekaan Indonesia.
Menteri Agama pun mengajak para kyai untuk bersama-sama mengembangkan pesantren agar tetap menjadi sumber ilmu dan karakter yang unggul.
Kemandirian ekonomi melalui pengembangan unit usaha berbasis potensi lokal dan bisnis digital, serta digitalisasi keilmuan melalui pembangunan perpustakaan digital dan pengarsipan kitab kuning digital, menjadi kunci keberhasilan. Namun, digitalisasi harus memperkuat, bukan menggantikan, nilai-nilai tradisional seperti ukhuwah, tawadhu, dan tasamuh. Sinergi dengan pemerintah, swasta, dan komunitas juga sangat penting.
Tantangan internal seperti bullying dan intoleransi, serta kurangnya koordinasi antar pesantren, juga perlu diatasi. Harapannya, pesantren tidak hanya menghasilkan generasi dengan pemahaman agama yang mendalam, tetapi juga generasi yang berkontribusi dalam pembangunan bangsa melalui inovasi, kewirausahaan, dan penguasaan teknologi.
Transformasi yang inovatif, informatif, dan transformatif secara terstruktur dan berkelanjutan akan memungkinkan pesantren untuk mempertahankan tradisi sekaligus menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, sehingga tetap menjadi institusi pendidikan memberikan kontribusi besar dalam pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang berkarakter dan berdaya saing di masa depan.
Penulis : H. Ahmad Rifaudin, S.Ag., M.Pd (Penulis adalah Pengurus DPP. PK-Tren Indonesia dan Kepala Kemenag Kota Tangerang Selatan)