“Satu malam yang mengubah arah angin.” Ini mungkin metafor yang tepat menggambarkan hasil debat calon wakil presiden semalam, antara Gibran melawan Cak Imin melawan Mahfud MD.
Sebelum debat dimulai, betapa Gibran dipandang sebelah mata. Betapa ia menjadi underdog. Namun setelah debat selesai, arah opini publik pun berubah.
Gibran dianggap lebih menguasai panggung perdebatan. Apa yang terjadi?
Kita mulai dulu dengan judul berita ini yang muncul setelah debat selesai. Dari Republika, menulis “Gibran kuasai debat Cawapres.”
Dari TV One, judulnya, “Berpengalaman jadi Walikota Solo, Gibran dinilai kuasai isu debat perdana cawa pres 2024.”
Juga media lain mewartakan: “Dianggap menang debat cawapres malam ini, nama Gibran jadi omongan netizen.”
Bagaimanakah sebenarnya menang dan kalah dalam debat capres/cawapres ini dinilai? Variabel apa yang umumnya dijadikan kriteria?
Maka kita pun teringat perdebatan calon presiden pertama dalam sejarah di televisi. Itu terjadi antara Richard Nixon melawan John F Kennedy dalam pemilu presiden Amerika Serikat tahun 1960.
Bagi yang mendengar debat ini hanya dari radio, umumnya mengatakan Nixon yang menang. Tapi bagi yang menonton debat di televisi, mayoritas menyatakan sebaliknya: Kennedy lah yang menang.
Mengapa berbeda penilaian pemenang debat antara yang mendengar di radio, dan yang menonton di televisi?
Jika warga mendengar hanya dari radio, penguasaan isu dan kematangan materi masing masing capres yang lebih terdengar. Namun warga yang melihat di televisi, melihat sosok fisik sang capres, mimik wajahnya, gesture tubuhnya, aura gaya komunikasi.
Yang menonton debat di televisi, riset menunjukkan, 40 persen publik secara agregat (menyeluruh) menilai lebih pada penguasaan materi sang capres. Sedangkan 60 persen publik menilai lebih pasa gaya komunikasi sang capres.
Maka kita bisa mengembangkan tiga variabel untuk menilai debat capres- cawapres sini. Pertama, penguasaan materi. kedua, gaya komunikasi. Ketiga, isu yang lain lagi: sentimen atau harapan sebelum debat atas cawapres yang bersangkutan.
Dari sisi penguasaan materi, Gibran diuntungkan oleh topik ekonomi yang memang dikuasainya. Sementara Mahfud atau Muhaimin tak dikenal berkecimpung lama di dunia ekonomi.
Dengan sendirinya, Gibran nampak menguasai lebih banyak terminologi, data, dan keluasan analisa. Itu terlihat ketika ia membahas soal hilirisasi dari nikel.
Terasa Gibran lebih fasih bicara teknis dan detail isu ekonomi itu, dibandingkan Mahfud dan Muhaimin.
Kedua, dari sisi gaya komunikasi. Satu isu penting yang nampak kasat mata adalah Time Management, pengaturan waktu penyampaian pesan.
Juga terlihat, Gibran lebih tertata bicara sesuai alokasi waktu yang disediakan. Sehingga terasa, sang cawapres tuntas menyampaikan pesannya dalam tempo dua menit, atau satu menit.
Ini paling terlihat di awal perdebatan. Mengapa? Itu karena Gibran sudah memiliki pengalaman debat di pilkada Solo 2020. Ia sudah punya pengalaman mengelola waktu dalam menyampaikan pesan.
Semtara bagi Muhaimin dan Mahfud, pola debat yang dipaket dalam durasi dua menit, dan satu menit, ini pengalaman pertama. Mereka misalnya belum pernah berdebat sebagai peserta kandidat pilkada.
Baik Mahfud atau Muhaimin terasa membutuhkan adaptasi di awal perdebatan. Belum tuntas mereka menyampaikan pesan utuh, tiba-tiba bel berbunyi.
Yang tak kalah penting adalah sentimen dan prakiraan publik atas kemampuan cawapres sebelum debat cawapres terjadi. Gibran justru diuntungkan karena ia dianggap anak bawang, Si Bocil, underdog, tak kompeten dan hal-hal negatif lain.
(Denny JA)