Terasberita.id – Beberapa waktu lalu, Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi), meresmikan dan memperkenalkan logo baru Ibu Kota Negara (IKN).
Terpilih menjadi logo IKN adalah Pohon Hayat. Logo pohon hayat, diharapkan dapat mempresentasikan visi Nusantara sebagai kota dunia untuk semua. Juga Nusantara menjadi sumber kehidupan dan rumah bagi berbagai keanekaragaman hayati di dalamnya.
Pohon Hayat sudah cukup familiar bagi sebagian orang. Dikenal juga dengan sebutan Tree of Life, arti Pohon Hayat adalah pohon yang diharapkan mampu memberikan hayat atau kehidupan bagi umat manusia.
Pohon hayat juga dipercaya untuk memberikan pengayoman dan perlindungan serta mempertebal semangat dan keyakinan masyarakat. Logo IKN Nusantara merupakan hasil karya seorang desainer grafis Bandung, Aulia Akbar.
Pohon Hayat atau Tree of Life telah banyak ditemukan di motif-motif relief bangunan suci di Jawa. Istilah ’hayat’ dari namanya berarti hidup atau kehidupan.
Pohon Hayat juga merupakan istilah digunakan untuk merujuk motif (berupa pohon) dalam karya seni trimatra, merupakan simbol harapan dan keinginan manusia dalam mitologi Hindu-Buddha, mengutip Vita Sabrina Azda Laili, dan kawan-kawan dalam Jurnal Sejarah dan Budaya.
Pohon Hayat disebut juga pohon kalpataru. Kalpataru berasal dari akar kata ‘kalp‘, berarti ‘ingin atau ‘keinginan‘, pohon yang dapat mengabulkan segala keinginan manusia memujanya.
Menurut Soediman, kalpataru berasal dari kata ‘kalpa‘, berarti ‘masa dunia‘, suatu periode sangat lama, yaitu periode antara penciptaan dan penghancuran dunia, serta, ‘taru‘ berarti ‘pohon.
Pohon hayat telah dikenal masyarakat kebudayaan Jawa sejak zaman prasejarah, jauh sebelum agama-agama masuk ke Pulau Jawa. Mengutip Jurnal IMAJI UNY, kepercayaan terhadap ‘pohon hayat’ muncul pada masa prasejarah berkaitan dengan paham animisme dan dinamisme.
Pada saat itu, masyarakat percaya bahwa pada beberapa pohon tertentu terdapat kekuatan ghaib menjadi sumber hidup dan mampu mengabulkan segala permohonan manusia.
Pohon dianggap penting pada waktu itu adalah pohon Waringin, berasal dari akar kata ‘ingin‘ dan mendapat awalan ‘war‘ (dalam bahasa Indonesia menjadi beringin).
Selain itu juga terdapat pohon awar-awar, Timaha, dan pohon Pelet. Baik agama Hindu ataupun Budha yang dianut di Indonesia keduanya mengenal ‘pohon hayat’.
Dalam agama Buddha, pohon hayat dikenal dengan nama ‘pohon Bodhi‘, dikaitkan dengan Pencerahan diterima Pangeran Sidharta. Setelah agama Buddha masuk Indonesia, nama pohon itu dikaitkan dengan pohon Waringin, keduanya termasuk jenis Ficus religius.
Dalam agama Hindu, Pohon Hayat dikenal dengan nama kalpataru, kalpawreksa, dan memiliki arti sama dengan pohon Waringin. Menurut naskah Jawa Kuno, pohon kalpawreksa ada dalam dua bentuk.
Pertama, pohon kalpawreksa yang merupakan pohon surga dan berhubungan dengan cerita mitos. Kedua, pohon kalpawreksa sebagai pohon dunia yang wujudnya dapat diamati dengan panca indra dan berupa pohon emas.
Pada zaman Jawa-Islam, kepercayaan orang Jawa terhadap ‘pohon hayat’ telah mengalami perkembangan lebih lanjut. Orang Jawa menggambarkan pohon hayat ini dalam bentuk hiasan ‘Gunungan‘ merupakan bentuk lain dari kalpataru. Hiasan semacam ini dapat dilihat di kompleks masjid dan makam Sunan Sendang dan pada pertunjukan wayang.
Sampai sekarang sisa-sisa kepercayaan pohon hayat masih ada, walau samar-samar.Seperti tampak pada kepercayaan sebagian masyarakat Jawa pada ‘pohon waringin kurung’ di Alun-alun Keraton Yogyakarta, yaitu Kyai Janadaru dan Kyai Dewandaru, konon melambangkan manunggaling kawula gusti (bersatunya hamba dan Tuhannya).
Di Pulau Karimunjawa, sampai sekarang masih ditemukan pohon keramat diberi nama pohon dewandaru.Mungkin perubahan dari kata dewataru. Menurut cerita setempat, pohon ini berasal dari sepasang tongkat seorang anak terdampar di pulau itu.
Dikisahkan bahwa suatu ketika seorang ayah tega mengusir putra kesayangannya karena anak itu berani membangkang perintahnya.
Anak itu kemudian pergi meninggalkan Pulau Jawa dengan naik perahu. Berhari-hari perahu ditumpanginya dihantam badai dan gelombang, hingga akhirnya ia terdampar di Pulau Karimunjawa.
Setelah berjalan lama dengan kedua tongkatnya, Ia beristirahat di Desa Nyamplungan. Ketika akan duduk, menancapkan kedua tongkatnya di atas tanah dan tiba-tiba kedua tongkat itu berubah menjadi dua pohon besar. Pohon itu dinamakan pohon dewandaru, artinya anugerah dewa.
Sampai sekarang, mitos tentang kesaktian pohon ini masih dipercaya sebagian besar penduduk Pulau Karimunjawa.
Pohon ini diyakini dapat menyembuhkan penyakit perut atau sebagian penawar dari gigitan ular berbisa banyak berkeliaran di pulau tersebut.
Bahkan pohon ini dapat dijadikan sebagai semacam ajimat untuk melindungi diri dari berbagai kejahatan manusia, di samping itu juga sebagai penolak dari gangguan roh-roh jahat.
Dikutip dari berbagai sumber*
(Dede Rosyadi)