Teras Berita.ID – Dilansir dari The Balance, bank digital diartikan sebagai layanan perbankan secara daring. Melalui layanan ini, nasabah dapat melakukan transaksi secara online dan hanya menggunakan smartphone.
Sementara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendefinisikan bank digital sebagai Bank Berbadan Hukum Indonesia (BHI) yang menyediakan dan menjalankan kegiatan usaha yang utamanya melalui saluran elektronik tanpa kantor fisik selain kantor pusat (KP), atau dapat menggunakan kantor fisik yang terbatas.
Cara kerja layanan bank digital dirancang senyaman mungkin agar menghemat waktu nasabah dan memungkinkan mereka melakukan kegiatan perbankan sesuai jadwal nasabah sendiri, tidak mengikuti atau berpatokan kepada jam buka kantor cabang.
Hampir semua hal yang dapat dilakukan di bank konvensional, bisa dilakukan lewat bank digital. Bank digital mampu memproses semua keperluan perbankan secara online, mulai dari pembukaan rekening, deposito, sampai investasi.
Nasabah juga bisa memperoleh informasi, melakukan komunikasi, registrasi, pembukaan rekening, transaksi perbankan, dan penutupan rekening, termasuk memperoleh informasi lain dan transaksi di luar produk perbankan.
Sementara untuk internet dan mobile banking, aktivitas nasabah masih terbatas sekadar transfer dana, cek saldo, pembayaran tagihan, pembelian voucher pulsa dan sejenisnya. Untuk aktivitas lainnya, nasabah tetap harus melakukannya dengan mengurus di kantor cabang.
Selama pandemi COVID-19, terjadi perubahan perilaku masyarakat yang cenderung bersifat physical contactless, termasuk dalam melakukan transaksi keuangan. Ini membuka peluang dan kesempatan yang selebar-lebarnya bagi industri perbankan untuk melakukan transformasi digital.
Kemudahan melakukan transaksi keuangan dari mana saja, tanpa mengenal batas waktu, menjadi suatu kebutuhan bagi masyarakat yang harus direspons oleh perbankan.
Di samping itu, digitalisasi dalam proses bisnis memungkinkan bank menjadi semakin mudah dalam melakukan akuisisi nasabah baru.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, mengatakan, pada dasarnya kehidupan masyarakat Indonesia secara bertahap mulai masuk ke digital. Mulai dari komunikasi, uang, sampai dengan belanja dilakukan secara digital.
“Dan pada waktunya semuanya akan digital, demikian juga dengan layanan bank,” kata Piter.
Pria lulusan International University of Japan itu menjelaskan, bank sebagai sebuah lembaga yang memberikan pelayanan, harus bisa beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Karena kalau tidak, maka akan tertinggal.
“Jadi sebenarnya bukan banknya yang harus digital, tapi karena kehidupan kita yang menuju digital, maka sebagai institusi pelayanan, bank harus mengikuti tren ke depan,” ujarnya, lagi.
Soal kehidupan yang sudah serbadigital ini pula yang menjadi pertimbangan utama Bank Jago, salah satu bank digital di Indonesia. Direktur Utama Bank Jago Kharim Siregar, menyebut solusi finansial harus ikut relevan dengan kehidupan yang ada saat ini.
“Oleh karena itu, maka aspirasi Bank Jago adalah meningkatkan kesempatan tubuh berjuta insan melalui solusi finansial digital yang berfokus pada kehidupan,” ujar Kharim.
Kharim menekankan mengenai fokus pada kehidupan yang segala sudah harus mengikuti era digital. “Kami merasa dengan adanya digitalisasi saat ini memang kita harus relevan terhadap yang sehari-hari dialami oleh masyarakat kita,” ujar Kharim.
Sehingga, kata Kharim, mereka membuat life-centric finance solution agar pengelolaan uang itu bisa lebih sederhana atau simple kemudian bisa dilakukan secara kolaboratif dan tentunya juga inovatif.
Piter Abdullah menjelaskan, bank-bank besar di Indonesia seperti BCA, Mandiri, BNI tidak bisa dalam sekejap mengubah diri menjadi digital. Semua harus dilakukan secara bertahap. Ini berbeda dengan bank-bank kecil yang lebih mudah melakukan perubahan atau bank yang dari awal memang dibentuk dan didesain sebagai bank digital.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengatakan target bank digital dari sisi simpanan adalah generasi milenial dan Z yang jumlahnya lebih dari 90 juta orang. Menurut dia, adaptasi digital yang cepat serta rasa ingin tahu generasi muda akan membuat produk bank digital mudah diterima.
“Misalnya kasus di Korea Selatan dimana Kakao Bank mampu menambah lima juta nasabah, hanya dalam waktu lima hari merupakan kasus keberhasilan bank digital menyasar nasabah usia muda,” kata Bhima.
Pria lulusan University of Bradford itu menjelaskan, dari sisi pinjaman, bank digital akan menyasar merchant yang sudah masuk dalam ekosistem digital. Kerjasama dengan satu platform e-commerce mampu menjangkau 10 juta merchant di seluruh Indonesia, dengan biaya yang murah.
“Merchant pasti membutuhkan pinjaman untuk pembelian bahan baku atau barang yang dijual kembali, sementara sebagian masuk kategori unbanked. Di sini peluang bank digital, agunannya hanya membutuhkan rekam jejak transaksi e-commerce dan kepuasan pelanggan,” ucap dia.
Berdasarkan data Bain and Temasek, hanya 23 persen penduduk Indonesia berusia di atas 18 tahun yang memiliki rekening di bank. Sebanyak 26 persen persen, sudah memiliki rekening, namun memiliki keterbatasan akses terhadap layanan perbankan.
Adapun penduduk Indonesia berusia di atas 18 tahun yang belum memiliki rekening di bank, jumlahnya cukup besar yakni mencapai 51 persen atau sekitar 92 juta orang.
Kehadiran bank digital di Indonesia diharapkan bisa menjadi solusi masalah ini, sekaligus memberikan pemerataan kesempatan bagi masyarakat untuk mengakses produk dan layanan jasa perbankan.
Selain itu, bagi Indonesia yang merupakan suatu negara kepulauan, akan menjadi sangat mahal apabila di setiap pulau harus didirikan kantor bank ataupun layanan ATM. Kehadiran bank digital dinilai sangat sesuai dengan kondisi geografis tanah air seperti dilansir dari liputan6.com.