Terasberita.id, Jakarta – Beberapa tahun terakhir, Indonesia ‘menunjukkan diri’ sebagai negara yang banyak mengalami bencana. Intensitas bencana yang terjadi semakin tinggi dan kuantitasnya cenderung semakin sering.
Dari data BNPB, tercatat pada tahun 2021 ada 3.078 kejadian bencana dan pada tahun 2022 meningkat jumlahnya menjadi 3.531.
Kondisi ini alamiah, karena secara geografis, Indonesia terletak di kawasan yang rawan bencana. Hal ini dapat mengganggu pembangunan.
Bahkan terkadang, fokus perhatian lebih banyak ditujukan kepada rehabilitasi dan rekonstruksi, sehingga, fokus pembangunan yang semula sudah direncanakan pada akhirnya menjadi tertunda.
Oleh sebab itu, aksi antisipatif (AA) menjadi kata kunci untuk mengantisipasi bencana.
Aksi antisipatif adalah serangkaian tindakan yang diambil untuk mencegah atau mengurangi potensi dampak bencana sebelum terjadi guncangan atau sebelum dampak akut dirasakan.
Hal ini diakui sebagai solusi utama untuk mengurangi dampak perubahan iklim dan peristiwa cuaca ekstrem.
“Kita harus memitigasi potensi dampak bencana sebelum terjadi.
Oleh sebab itu, apa yang sudah digagas oleh Kemenko PMK dan WFP sangat tepat untuk mengurangi potensi risiko bencana, baik dari aspek kemanusiaan, maupun aspek ekonomi”, tutur plt. Deputi Bidang Koordinasi Pemerataan Pembangunan Wilayah dan Penanggulangan Bencana Sorni Paskah Daeli saat menyampaikan sambutan dalam Anticipatory Action Informal Working Group Meetingdi Ruang Heritage Kemenko PMK (11/07).
Hal ini tentu selaras dengan prioritas bangsa Indonesia untuk meningkatkan ketahanan bencana dan perubahan iklim di dalam RPJMN 2020-2024.
Aksi antisipasi ini menjadi metode yang sangat penting untuk pencegahan dini terhadap berbagai macam bencana yang akan melanda.
Oleh sebab itu, AA ini perlu disosialisasikan. Sorni berharap, pertemuan-pertemuan ini tidak hanya sebatas dilakukan di lingkup internal, tapi lebih luas lagi, melibatkan kelompok-kelompok masyarakat.
“Kami mendorong sosialisasi ini, supaya upaya-upaya kita untuk melakukan identifikasi, tahapan-tahapan, rencana aksi dapat tersampaikan dengan baik kepada masyarakat”, tambahnya.
Head of Climate URR and Supply Chain Unit World Food Programme Katarina Kohutova mengapresiasi Indonesia, yang meskipun berada di peringkat teratas dalam hal risiko bencana, namun dapat menangani penanggulangan bencana dengan baik.
“Kami melihat bahwa penanggulangan bencana di Indonesia dapat diimbangi dengan kapasitas yang baik antara pemerintah bersama rakyat dan mitra yang ada,” ujarnya.
Menurutnya lagi, Indonesia sudah memiliki dasar yang sangat kuat untuk memulai, sehingga tidak perlu dimulai dari 0. “Dari studi kami yang terbaru, Indonesia memiliki kebijakan yang memungkinkan AA ini dapat
diimplementasikan.
Dengan early warning system yang sudah dimiliki, ini merupakan sebuah keuntungan bagi Indonesia di saat negara-negara lain tidak memiliki”, tuturnya.
Emergency Preparedness & Response Officer WFP Rio Agusta memaparkan tentang aksi partisipatif di Indonesia.
Diawali di bulan September 2022 lalu, WFP bersama Palang Merah Indonesia dan UN-Ocha beraudiensi dengan Kemenko PMK untuk memperkenalkan AA. Hal ini disambut baik oleh Kemenko PMK.
Rio menjelaskan, fase AA berada di antara fase peringatan dini dan tanggap darurat. Perbedaan aksi antisipatif dan kesiapsiagaan adalah adanya analisis dampak.
Analisis dampak dilakukan oleh pihak berwenang (Pemerintah) sebagai dasar prakiraan dan pengambilan keputusan yang kuat.
Berdasarkan analisis tersebut, selanjutnya Pemerintah menetapkan status, yang dilanjutkan dengan penetapan level risiko dan status kebencanaan.
Dalan skema AA, di saat yang bersamaan, ada upaya-upaya untuk membuat rencana aksi yang telah ditetapkan, tanpa menunggu peringatan dini.
Setelah itu, langkah selanjutnya adalah memobilisasi sumber daya untuk mengurangi risiko dampak melalui bantuan sosial, stok bencana, dana tunai/non tunai, penggunaan sumber daya dan aksi dini melalui evakuasi, dan stok makanan. Di fase terakhir, baru terjadi bencana dan dampaknya.
“Yang perlu digarisbawahi dari AA adalah upaya kita ketika peringatan dini dirilis dan bencana terjadi”, tutupnya.
Pertemuan dilanjutkan dengan FGD yang dibagi ke dalam 4 (empat) kelompok dengan 4 topik besar untuk mengidentifikasi langkah nyata, yaitu institusionalisasi koordinasi, pengembangan kerangka nasional peta jalan dan rencana implementasi, risalah kebijakan untuk advokasi, dan proses konseptualisasi multistakeholder.
Sebagai tindak lanjut hasil pertemuan ini, Asisten Deputi Bidang Kedaruratan dan Manajemen Pasca Bencana Kemenko PMK Nelwan Harahap menyampaikan langkah-langkah yang perlu dilakukan ke depan.
Kemenko PMK akan segera merumuskan kerangka nasional rencana AA untuk dijadikan acuan dalam rencana implementasi di level provinsi, kabupaten/kota, bahkan sampai level desa, melakukan komunikasi efektif dengan para stakeholders, khususnya saat penetapan regulasi untuk memastikan resiliensi berkelanjutan dan AA dijadikan sebagai instrumen penguatan kapasitas penanggulangan dan kapasitas masyarakat di daerah.
Di tahun 2023, diharapkan tataran konsep AA bisa selesai, sehingga di tahun 2024, kebijakan sudah mulai bisa diimplementasi.
Pada 2025, diharapkan seluruh stakeholder yang terlibat sudah bisa melakukan roadshow sosialisasi dan pendampingan piloting project di beberapa wilayah di Indonesia.
Kemenko PMK mendorong AA untuk dimasukan dalam dokumen perencanaan nasional, baik RPJPN 2025-2045 dan RPJMN 2025-2029, yg saat ini rancangan teknokratiknya sedang disusun oleh Kementerian PPN/Bappenas.
Menutup pertemuan, Catarina mengapresiasi dan mendukung rencana dan visi yang disusun oleh Kemenko PMK.
Ia mengajak seluruh stakeholder yang hadir, baik luring maupun daring, untuk turut mendukung Kemenko PMK.