TERAS BERITA.ID, BANDUNG – Hebohnya kabar guru pesantren jadi terdakwa pemerkosaan puluhan remaja perempuan, tidak dimungkiri membuat orangtua khawatir menyekolahkan anak di pesantren atau boarding school.
Menyoroti hal ini, Uu Ruzhanul Ulum yang juga Panglima Santri mengungkapkan rasa prihatinnya. Saat ini, oknum guru pesantren di Kota Bandung, Herry Wirawan alias HW, masih menjalani persidangan atas kasus pemerkosaan tersebut.
Uu Ruzhanul Ulum menyatakan, tidak boleh ada rasa ketakutan dari para orang tua yang putra- putrinya sedang menempuh pendidikan di Majelis Taklim, di Pondok Pesantren, atau di Madrasah Diniyah.
Asalkan, kata pria yang juga menjabat Wakil Gubernur Jawa Barat ini, lembaganya sudah terpercaya serta jelas sejarah dan asal usulnya.
“Sekitar 12.000 pondok pesantren yang ada di Jawa Barat belum ditambah mungkin majlis-majlis, termasuk juga Madrasah Diniyah, kemudian juga yang lainnya itu harapan kami tidak disamaratakan,” kata dia, seperti dilansir Kabar Priangan dalam artikel “Panglima Santri Sikapi Kasus Predator Anak yang Memperkosa 12 Santriwati di Bandung”.
Uu juga menyebut, bahwa dari hasil penelusurannya terkait siapa oknum guru tersebut, diketahui bahwa tersangka memang pernah menempuh pendidikan di suatu pondok pesantren, namun memang yang bersangkutan punya track record kurang baik.
“Ternyata memang saya bertanya kepada orang- orang yang kenal dia. Dia memang pernah pesantren tapi ga benar terus dia berperilakunya tidak sama dengan komunitas pesantren yang lainnya,” katanya.
Lebih lanjut, Uu menjelaskan bahwa pengawasan terhadap anak yang sedang mondok di pesantren adalah hak bagi setiap orang tua/wali murid.
Dengan begitu orangtua dapat memantau perkembangan anak. Juga mengecek kondisi mulai dari kesehatan fisik, mental, dan hal lainnya.
“Nah kemudian juga kalau di pesantren yang benar orangtua ini tidak memberikan secara full tetapi tetap harus ada ‘ngalongok ka Pesantren,’ (bahkan) pesantren saya ada libur setahun dua kali,” katanya.
Di pesantren miliknya, kata Uu, orangtua boleh menengok perkembangan anak. “Sehingga terpantau pendidikan, kesehatan, dan lainnya tidak cukup dengan telepon,” kata Panglima Santri.
Selanjutnya orang tua perlu mengedepankan kehati- hatian ekstra sebelum anaknya dipercayakan untuk jadi peserta didik suatu lembaga.
Banyak aspek yang perlu dipertimbangkan mulai dari biaya, fasilitas, metode belajar, asal usul pendidikan guru, pendiri, yayasan, hingga legalitas lembaga yang berdiri.
Selanjutnya, orang tua bisa memilih sekolah yang sudah terbukti menghasilkan lulusan berkualitas. Bisa saja dengan melihat tetangga, kerabat, atau testimoni dari lulusan yang sudah pernah menempuh pendidikan di suatu lembaga.
“Kemudian juga kita harus mewaspadai seandainya ada pesantren- pesantren yang aneh-aneh. Dari pendidikannya, perilaku, dan lainnya, jangan sampai orangtua ini memberikan anak kepada pesantren tetapi tidak tau latar belakang lembaga tersebut,” tuturnya.
Bicara pengawasan dari Pemerintah Daerah, khususnya di tingkat Provinsi, Uu menyebut bahwa lahirnya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2021 tentang Fasilitasi Penyelenggaraan Pesantren.
Diharapkan Perda yang mengatur mulai dari pembinaan, Pemberdayaan, serta pembiayaan di lingkungan pesantren ini jadi payung hukum tersendiri supaya hadir pula pengawasan yang lebih ketat dan meningkatkan monitoring terhadap penyelenggaraan pendidikan pesantren di Jawa Barat.
Adapun perkembangan saat ini, para santriwati yang menjadi korban tengah mendapat pendampingan oleh tim DP3AKB provinsi Jawa Barat untuk trauma healing. Kemudian akan disiapkan pola pendidikan baru sesuai hak tumbuh kembangnya.
Berharap kejadian serupa tak terulang di masa yang akan datang, Uu berharap hukum ditegakkan yang seadil- adilnya terhadap pelaku. Serta adanya pengawasan yang lebih prima dari semua pihak.
Adapun kepada pihak yayasan atau lembaga pendidikan/ pesantren, Uu Ruzhanul Ulum meminta agar rutin memonitor setiap kegiatan di sarana pendidikannya. Selanjutnya agar lebih selektif memilih tenaga pengajar.
“Saya juga minta kepada pimpinan pesantren harus ada pemantauan ketat terhadap para pengajar ustad /ustadah, asatid/ asatidah termasuk pengurusan yang lain,” katanya.
Biasanya di pesantren, ujar dia, santri putri diajar guru putri dan santri laki- laki oleh guru laki-laki. Kecuali biasanya pimpinan umum pesantren atau pendiri sebagai ‘Syaikhul Masyaikh’ (tertua) baru bisa mengajar santri/ santriwati. Tetapi itu pun biasanya dibatasi dengan kelir pembatas antara laki- laki dan perempuan