TerasBerita.ID-Anggota Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Puteri Anetta Komarudin mendorong adanya reformasi hukum yang responsif gender guna wujudkan keseteraan gender.
Dalam Sidang Umum ke-143 Inter-Parliamentary Union (IPU) yang berlangsung 26-30 November 2021 di Madrid, Spanyol, Puteri mengatakan upaya untuk menjamin terpenuhinya hak-hak perempuan melalui produk hukum yang responsif gender juga diperjuangkan oleh Kaukus Perempuan Parlemen RI (KPPRI) di DPR.
“Kaukus memberikan ruang bagi anggota dewan, baik perempuan maupun laki-laki untuk berkomitmen dan bekerja sama dalam menjamin agenda penyusunan undang-undang yang responsif gender,” ungkap Puteri sebagai narasumber diskusi panel dalam Sidang ke-32 Forum Anggota Parlemen Perempuan sebagai rangkaian dari Sidang Umum IPU, Jumat (26/11/21).
Sidang Umum ke-143 IPU dihadiri delegasi dari 179 negara anggota, termasuk Indonesia. Dalam diskusi panel bertajuk Strategies For Gender-Responsive Law Making: Partnerships Needed To Conduct Gender-Responsive Legal Reform, Anggota Komisi XI DPR RI itu menyampaikan pengalaman terkait hubungan kemitraan dibangun KPPRI dalam mendorong reformasi hukum yang responsif gender. Dalam pidatonya, Puteri menjelaskan lebih lanjut terkait strategi KPPRI dalam pengarusutamaan gender di DPR RI.
“KPPRI fokus mendorong kemampuan politik perempuan melalui kegiatan advokasi dan pengembangan kapasitas. Melalui advokasi, kami dorong terpenuhinya kuota keterwakilan minimum sebesar 30 persen bagi perempuan di lembaga-lembaga politik dan partai politik. Bersamaan dengan itu, kami juga tingkatkan kapasitas politik dan legislasi. Kami juga terus menjalin kerja sama dengan berbagai elemen masyarakat, akademisi, dan sektor swasta untuk mendukung kiprah perempuan di berbagai lini,” jelas Puteri.
Puteri yang juga menjadi Anggota Biro Perempuan Parlemen IPU (Bureau of Women Parliamentarians) perwakilan Grup Asia-Pasifik juga menjelaskan bahwa KPPRI tengah memperkaya peran pengawasan yang dimiliki melalui mekanisme pemantauan dan peninjauan terhadap undang-undang atau Post Legislative Scrutiny.
Kewenangan ini diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2019 yang merevisi UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
“Fungsi pemantauan dan peninjauan UU terus kami pelajari agar bisa segera kami implementasikan untuk mengawasi pelaksanaan UU. Sehingga harapannya mekanisme ini juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan menemukan regulasi yang dianggap tidak responsif gender maupun diskriminatif,” tutur Puteri.
Menutup pidatonya, politisi Partai Golkar itu mengajak para anggota parlemen perempuan dunia untuk terus menjalin kerja sama.
“Reformasi hukum yang responsif gender pasti berbeda-beda pelaksanaannya di tiap negara. Karenanya, kita perlu memperkuat konsolidasi dan komunikasi melalui forum-forum internasional seperti ini untuk berbagi pengalaman dan belajar satu sama lain,” tutup Puteri.