TerasBerita.id – Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Toto Izul Fatah, memaparkan soal respon publik di Sosmed dan WA grup, seputar Lembaga Survei, Hasil Survei dan Konsultan Politik.
Menurutnya, ada dua bentuk respon terhadap hasil survei. Yaitu, memuji hasilnya karena dianggap menguntungkan dirinya. Respon kedua, mencaci hasilnya, lantaran dianggap merugikan dirinya dan pihaknya.
“Pada kontek ini, benar itu ketika sesuatu dianggap menguntungkan. Dan salah, pada saat sesuatu itu merugikannya,” jelas Toto Izul Fatah, pada Rabu (22/11/23).
Dalam kontek ini, kata Dia, tidak heran, jika muncul tuduhan miring kepada lembaga survei sebagai kumpulan orang bayaran. Sampai disitu, tidak ada masalah, apalagi terjadi di tengah medan kontestasi politik seperti Pilpres 2024.
“Tuduhan menjadi masalah pada saat hasilnya dipersoalkan pihak yang tak paham survei dengan segala tahapan metodologisnya, yang melibatkan perangkat sains, eksak seperti statistik. Meskipun, sekali lagi, hal itu wajar terjadi di tengah pesta politik lima tahunan,” tandas Toto.
Lebih jauh, Toto menegaskan, dirinya lebih dari 15 tahun terlibat dalam ratusan kali survei opini publik, baik di Pilkada, Pileg dan Pilpres, tak bisa dan tak boleh memungkiri fakta bahwa survei bisa dipesan (siapa saja, baik perorangan maupun lembaga partai politik), tapi hasilnya dijamin tak bisa dipesan.
“Karena salah satu SOP di sebuah lembaga survei seperti LSI Denny JA, salah satu yang diharamkan peneliti adalah mengutak atik hasil survei untuk sekedar menyenangkan klien,” tegasnya.
Toto mengungkapkan, sejumlah kandidat di Pilkada, bahkan di Pilpres, beberapa kali direkomendasikan untuk tidak maju, lantaran dari hasil survei LSI Denny JA , kandidat tersebut tidak memenuhi tuntutan hukum besi untuk menang berdasarkan data survei.
“Meski begitu, tak jarang kandidat tetap ngotot maju karena tak percaya survei, akhirnya diujung pertarungan, tepatnya saat hari H pemilihan, kandidat tersebut baru menyesal, setelah hasilnya kalah, karena tak mendengar rekomendasi kami dari lembaga survei,” ujarnya.
Masih kata Toto, mungkin jika lembaga survei hanya mengejar target profit berupa bayaran, siapapun kandidatnya akan didorongnya untuk tetap maju, meskipun potensi kalahnya besar, yang penting dibayar.
“Dalam kontek ini, clear, lembaga survei memang bisa dipesan, tapi hasilnya haram untuk dipesan,” tegasnya.
Meskipun dalam beberapa kasus, sambung Toto, lembaga survei seperti LSI Denny JA, sering juga mempublis hasil survei yang dibiayai sendiri dari CSR perusahaan, karena isunya yang bersifat public interest, seperti soal isu korupsi, khilafah dan lain-lain.
“Saya tidak menampik fakta, tanpa bermaksud menuduh, ada sejumlah lembaga survei yang ikut meramaikan kontestasi politik lima tahunan ini dengan tanpa beban moral dan profesional mempublis hasilnya. Yang penting, menyenangkan pemesannya,” kata Toto.
“Mungkin saja, turun lapangan pun tidak untuk wawancara tatap muka. Apalagi menjunjung tinggi metodologi. Inilah yang sering kita dengar disebut sebagai lembaga survei musiman. Pasca kontestasi politik selesai, selesai juga nasib lembaga survei tersebut,” sambung Ia.
Toto menegaskan,lembaga survei seperti LSI Denny JA yang sudah kurang lebih 20 tahun berkiprah, pasti akan berusaha untuk tetap hidup dan eksis dijagat politik nasional.
“Karena itu, hampir tak mungkin mengambil langkah ceroboh dengan mempublis hasil survei asal-asalan,” tandasnya.
Toto punya alasan, karena disitu ada pertarungan record dan kredibilitas lembaga. Ada nama besar yang harus dijaga disitu.
“Jika LSI Denny JA berani bermain-main dengan data yang asal-asalan, bukan saja membuat lembaga kehilangan trust-nya, tapi juga hanya akan menggali lubang kuburnya sendiri, karena tak akan ada lagi orang atau partai politik yang mau memakai jasanya lagi. Dan itu tak mungkin dilakukan, karena LSI Denny JA ingin terus hidup ikut menentukan bulat lonjong negeri ini,” beber pria lulusan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut.
Terkait dengan posisi lembaga survei, termasuk LSI Denny JA yang merangkap sebagai konsultan politik dari salah satu kandidat. Toto, sebagai salah seorang yang berada di dalamnya, wajib menyampaikan, bahwa lembaga survei yang merangkap konsultan itu, selain tak ada aturan yang melarang, juga lumrah terjadi.
“Bahkan, dilakukan juga oleh lembaga-lembaga survei besar dunia seperti Gallup di Amerika Serikat,” ungkapnya.
Alasannya, kata Toto, karena kandidat yang ingin menang itu harus punya panduan untuk memenuhi tuntutan hukum besi menang. Survei, bukan saja memandu kandidat untuk tahu kekuatan dan kelemahan lawan, termasuk memandu strategi pergerakannya, bahkan survei juga memandu berapa ‘amunisi’ yang diperlukan untuk bertarung dengan merujuk data popularitas dan elektabilitas kandidat diperoleh.
“Lewat panduan data survei itulah, seorang kandidat, bergerak tidak berdasarkan feeling atau intuisi, tapi berdasarkan data survei. Misalnya, untuk prioritas campaign, apakah fokus di segmen tertentu dan zona tertentu saja, atau harus melebarkan sayap ke segmen dan zona lainnya. Semua itu yang memandu bukan feeling, tapi DATA,” urai pria asal Sukabumi tersebut.
Karena itu, sambung Toto, tak heran, jika LSI Denny JA dalam sejumlah kasus mendampingi kandidat di Pilkada, sebulan sebelum Hari H pencoblosan, kita sudah berani mengucapkan Selamat kepada kandidat karena hasilnya pasti menang.
“Itu juga yang terjadi pada Pilpres. Dulu, misalnya, pada 2009, saat LSI Denny JA mendampingi SBY, sebulan sebelum hari H, kita sudah berani publis, bahwa SBY akan menang SATU PUTARAN (tayang di aneka iklan dan berita). Dan hasilnya, ternyata benar. Begitu juga saat mendampingi JOKOWI.
Kalau LSI Denny JA asal-asalan hanya karena ingin menyenangkan klien, lalu hasilnya salah, misalnya SBY atau JOKOWI kalah, mungkin sejak itu LSI Denny JA sudah berada di alam kubur,'” bebernya.
Karena itulah, masih kata Toto, isu utamanya bukan pada lembaga survei itu merangkap konsultan atau bukan, dibayar atau tidak, tapi pada seberapa lembaga itu mampu menjaga kepercayaan publik dengan integritas moral dan profesionalnnya.
Apakah hasil survei itu bisa meleset?
Toto mengatakan, jawabannya bisa. Dalam survei itu ada yang disebut juga dengan anomali. Anomali itu dalam ilmu sosial bisa terjadi, tapi jarang terjadi. Biasanya hasil survei meleset karena ada faktor faktor abnormal yang menyertainya.
“Misalnya, pada saat Pilkada pertama di Nanggro Aceh Darusalam (NAD) Aceh pada 2007, semua lembaga survei meleset secara berjamaah, Kenapa?. Karena ada situasi disana, dimana masyarakat masih dalam suasana tak normal karena GAM. Sehingga, pada saat relawan riset kita yang asing datang ke rumah-rumah responden, mayoritas warga menaruh curiga, jangan-jangan intel dari Jakarta. Sehingga, kita tak bisa mendapatkan jawaban responden yang murni alias tidak tertekan,'” tutur Ia.
Kasus yang kurang lebih sama, kata Toto, meskipun konteknya berbeda, terjadi pada Pilkada DKI Jakarta, yang membuat Ahok yang menang di survei, harus kalah di akhir. Banyak lembaga survei yang meleset. Sejauh yang kita bedah, salah satu faktor nya karena ada dinamika yang tak terduga pasca Ahok membuat pernyataan blunder dengan mengutip alQuran surat Almaidah. Ahok dianggap penista agama dan berujung pada demo besar-besaran.
“Dalam kontek dunia, lembaga survei dan konsultan politik sekelas Gallup saja di AS pernah tidak tepat prediksinya. Begitu juga dengan penyelenggara survei lainnya sekelas Newyork Time dan CNN juga pernah meleset prediksinya,” ujarnya.
Toto memberikan contoh, Gallup pada tahun 1980 meleset hasil surveinya dengan penghitungan akhir pada Pilpres AS antara Jimmy Carter vs Ronald Reagan. Waktu itu, Carter diunggulkan dengan 44% dan Reagan 41%. Namun, saat quick count, Carter hanya 41% dan Reagan unggul dengan 50,7%.
Begitu juga dengan Nework Time pada tahun 1988 yang prediksinya gagal dalam Pilpres AS antara Dukakis vs George Bush. Dalam survei terakhir, Dukakis unggul dengan 49% sementara Bush 39 %.
Hasil terakhir dalam penghitungan, Bush unggul dengan 53% dan Dukakis hanya 45%. Kasus yang sama terjadi pada Tme/CNN tahun 1992, dimana Clinton yang dalam survei terakhir hanya 24%, tapi saat penghitungan akhir unggul dengan 43%.
Sementara, Roos Perot yang sebelumnya 37% anjlok ke 18,9% dan Bush dari semula 24% naik ke 37,4%.
Selisih perbedaan rata-ratanya antara 10 sampai 20% lebih dengan posisi yang berbalik-balik.
Itu semua contoh sebuah anomali yang bisa terjadi dalam ilmu sosial, bahkan ini terjadi pada lembaga survei dunia sekelas Gallup, Newyork Time dan CNN.
“Tentu, jika dibandingkan dengan record keakuratan survei lainnya jauh lebih banyak ketimbang melesetnya. Wajar lah, misalnya, dari lebih 200 kali LSI Denny JA melakukan survei, hanya 2 atau 3 kali meleset,” tandasnya.
Pria berkacamata dan humble ini menegaskan, yang pasti percaya kepada survei jauh lebih cerdas ketimbang percaya kepada dukun !
Redaktur : Dede Rosyadi/Deros