TERASBERITA.ID, BEKASI – Kampung Penggarutan di Kabupaten Bekasi. Nama kampung yang tidak asing bagi warga Tarumajaya Bekasi, dan sekitarnya. Di balik nama Penggarutan, tersimpan kisah unik yang didapat dari salah satu penduduk asli kampung tersebut.
Mulai dari, cerita nama Penggarutan, sepenggal kisah tokoh, orang gedongan, hingga kebiasaan penduduk setempat pada era 70-an. Kepemilikan sawah dan kerbau menjadi barometer kekayaan penduduk setempat.
Jurnalis infobekasi.co.id, beberapa waktu lalu sempat berbincang santai di salah satu rumah penduduk asli Kampung Penggarutan, yakin Syarifuddin, yang biasa akrab disapa Mang Syarif.
Saay ditanya, penamaan Penggarutan. Dirinya mengatakan, bahwa dahulu di kampungnya itu banyak pohon garut. Pohon yang berduri tajam, terhampar luas sepanjang kampung tersebut. Sebelah Belor, batasnya Bogor Sero, Sebelah Ngetan, batasnya Tanah Tiggi, Sebelah Ngulon berbatasan dengan Kampung Tanah Apit, Harapan indah.
Banyaknya pohon garut, ditambah masih jarangnya rumah penduduk saat itu, terlihat kampung Penggarutan seperti hamparan hutan ditumbuhi pohon garut.
“Orang tua dulu cerita, disini banyak pohon garut, ngampar. Banyak banget. Kampung ini udah kayak hutan gituh, saking banyaknya itu pohon garut,” cerita Mang Syarif saat ditemui dikediamannya, Kampung Penggarutan, Desa Pusaka Rakyat, Kecamatan Tarumajaya, Bekasi.
Syarif tidak tahu persis, siapa orang yang pertama kali menamakan Penggarutan itu mejadi sebuah perkampungan. Sebab, Ia mendapat kisah secara turu-temurun sebutan nama kampung tersebut dari nenek moyang penduduk setempat.
Hal ini dibuktikan, dari sisa-sisa pohon garut yang masih ada di sekitar Kampung Penggarutan. Bahwa, pohon garut memang ada dan menjadi sebuah kisah dari kampung tersebut.
“Ya, namanya orang dulu, kan kisah kampung enggak pernah dicatat secara tulisan. Belum idep, nulis-menulis orang dulu mah. Biasanya orang dulu suka cerita-cerita lewat omongan ajah,” ujar Pria yang kini menjabat sebagai RT setempat selama dua periode.
Pada era 70-an, Syarif kecil ingat kebiasaan masyarakat Penggarutan itu bertani di sawah. Menanam padi, mencari ikan, menjala burung dan menjual daun waru untuk ditukar jajanan singkong rebus.
“Dulu itu, kita sering cari ikan. Jala burung ayam-ayaman. Banyak banget disini, apalagi setelah turun hujan. Bocah-bocah sini pada getap (rajin) cari burung di sawah. Saat itu cari lauk gampang banget,” kenangnya.
Lebih seru lagi saat, dirinya cari ikan di kali alam Penggarutan, yang kini lokasinya di belakang Mesjid Penggarutan. Banyaknya ikan sepat siam, boncelan, membuat warga setempat tidak perlu susah cari lauk pauk buat makan.
“Kita jejala, nganco ikan di kali alam. Itu yang sekarang kali di belakang Masjid Penggarutan. Dulu kalau ujan, itu banjir. Ikan banyak disitu. Nyebrang ajah kita pake kedebong pisang,” tutur pria tinggi kurus tersebut.
“Sekitar tahun 70-an itu di Penggarutan ada yang namanya, babara buat nganco (jala ikan). Pada masang jagaan pake bambu. Dulu yang punya babara itu Uwa Satun, Uwa Amad, Uwa Layu,” ucap Mang Syarif.
Pria kelahiran 1967 ini menuturkan, orang yang punya sawah luas di Penggarutan itu ada sawahnya Haji Usman, Haji Mahbub (Sebud), Haji Meruf, Haji Murtani, Haji Suhaimi. Mereka itu dulu disebut orang gedongan, lantaran sawahnya banyak, hektaran.
“Orang gedongan (kaya) dulu sudah pada haji. Berangkatnya pakai kapal layar. Bisa 40 hari baru pulang. Kalau nama depannya udah ada gelar haji, itu tandanya orang punya (ada) saat itu,” jelasnya.
Bukan hanya kisah orang gedongan di Kampung Penggarutan. Ada juga kisah jawara (penguasa kampung) saat itu yang dipegang seorang jawara bernama Jawad.
Jawad ditakuti dan disegani oleh jawara sekitar. Meski Ia jawara, tapi Jawad pun pandai mengaji. Bisa dikatakan Jawara Santri kala itu.
“Setiap kampung pasti ada jawaranya zaman dulu. Kalau di Penggarutan itu ada jawara Jawad namanya. Dia disegahi oleh musuh kampung lain. Meski jawara tapi Ia pandai mengaji. Betawi emang gituh, jago silat dan pandai ngaji. Kala itu ya,” cerita Mang Syarif sambil menyeruput kopi.
Mang Syarif juga mengungkapkan, dulu di Penggarutan ada juga penguasa sakti juga. Kisah ini didengar secara turun temurun. Yakni Kumpi Aki Seran. Ia bisa berubah jadi macan jadi-jadian.
Maklum, saat itu Penggarutan masih hutan belantara. Hewan macan, siluman atau sebangsa lainnya masih banyak. Masyarakat setempat, saat itu sebagian menganut paham animisme dan dinamisme (kepercayaan leluhur dan kebendaan mistis).
“Ya dulu itu ada leluhur Aki Seran, katanya sih macan jadi-jadian. Entah orang beneran apa siluman, kita pernah dengar ada ceritanya seperti itu. Kalau orang mau hajatan, gelar keriyaaan, kawinan, pasti masang ancak, atau minta izin sama leluhur setempat,” kata Ayah tiga anak ini.
Seiring berkembangnya zaman dan banyaknya masyarakat menuntut ilmu agama. Tradisi tersebut mulai luntur dan ditinggalkan.
Tokoh agama yang punya peran diantaranya, KH. Junaidi Penggarutan. Kini nama sang tokoh diabadikan menjadi sebuah jalan raya di kampung tersebut.
“Tokoh agama Islam yang nyohor disini itu KH. Junaidi. Beliau ngajar ngaji, bimbing masyarakat Penggarutan. Beliau masa mudanya memang menuntut ilmu ke berbagai wilayah, salah satunya belajar agama ke Mualim Guru Marzuki Mirsod Cipinang, Jakarta Timur,” tutup Mang Syarif.
Penulis: Deros D.Rosyadi